Selasa, 13 Januari 2009

ANAKKU HARUS HIDUP




Ini pukulan berat buat keluarga kami. Kakaknya, sebelumnya juga menderita penyakit yang sama. Tapi umurnya tidak panjang. Ia keburu meninggal sebelum kami berbuat banyak untuknya

Menyusuri desa Karangsoko nan rimbun dengan pepohonan, kecamatan Trenggalek kabupaten Trenggalek, kita tak akan percaya, jika di salah satu dusunnya, dusun Sukobanteng, terselip satu anak yang telah akrab dengan bau rumah sakit dan ruang bedah. Adi Setyawan, 32 bulan, putra bungsu dari pasangan Bapak Suyadi (33th) dan Ibu Jinarti (34th), di usia 5 bulan, oleh dokter divonis menderita invaginasi usus. Yakni suatu keadaan dimana bagian usus masuk ke bagian usus lainnya. Sehingga, bisa menyebabkan komplikasi yang berat seperti infeksi bahkan kematian, dan tak ada jalan keluar terbaik selain operasi. Suyadi sang ayah, hanya bisa pasrah sembari berusaha sekuat tenaga untuk membiayai operasi anak yang dikasihinya. 25-35 juta rupiah sekali operasi. Sebagai buruh tani dan hanya numpang tinggal di rumah mertua, bukanlah jumlah yang kecil. Tapi beruntung, Allah memberikan jalan melalui bantuan keluarga dan dana sosial dari sebuah koran nasional di Jawa Timur, beberapa tahun lalu.
Hati siapa yang tidak miris melihatnya. Perut sekecil itu sudah dipenuhi oleh bekas sayatan pisau bedah ditambah puluhan bekas jahitan. Hanya tangis dan rintihan pilu yang terdengar dari mulut kecilnya. Ia belum tahu apa-apa, tapi cobaan dariNya begitu besar menerpa. Kedua orangtuanya hanya bisa berucap doa dan doa untuk kesembuhan anak yang mereka sayangi. “Ini pukulan berat buat keluarga kami. Kakaknya, sebelumnya juga menderita penyakit yang sama. Tapi umurnya tidak panjang. Ia keburu meninggal sebelum kami berbuat banyak untuknya, “ cerita Jinarti mengenang mendiang putranya.

Awal Terdeteksinya Penyakit

Sejak lahir, Adi memang telah menunjukkan kelainan. Ia tampak kesulitan ketika ingin BAB, dan fesesnya disertai darah dan lendir. Ia pun kerap muntah dan demam. Tangisnya tidak seperti biasanya. Ia seakan menahan sakit yang luar biasa. Jinarti, sang ibu, telah merasakan di hati bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi semua itu dinafikannya, mengingat mereka tak punya biaya untuk membawanya ke rumah sakit guna melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Walhasil, kondisi Adi yang semakin terlihat payah saat akan BAB, sangat mempengaruhi nafsu makannya. Berat badannya turun drastis. Ia tercatat sebagai penderita gizi buruk karena berat badannya yang terpaut jauh dengan usianya. Sampai suatu hari, naluri keibuan Jinarti berontak. Ia tak sanggup lagi melihat kepayahan anaknya saat sakit datang menyerang. Di usianya yang telah memasuki 5 bulan, ia nekad membawa anaknya ditemani sang suami untuk memeriksakannya ke rumah sakit daerah Trenggalek. Selama perjalananan, tak henti mereka memanjatkan doa untuk kesembuhan sang anak dan diberi kesabaran atas ujian yang diberikan. Namun, takdir berkata lain. Seakan petir yang menyambar di telinga, saat dokter memvonis Adi untuk segera dioperasi melihat kepayahan tubuh kecilnya menahan sakit. “Ini demi menyelamatkan nyawa anak Bapak dan Ibu. Kami harus merujuk anak ibu ke rumah sakit Surabaya, “ ucap dokter yang terus terngiang di telinga sepasang suami istri itu. . Seketika wajah Jinarti pucat, dan tubuhnya menegang. Ia hanya mampu memandangi suaminya. Meski tak bersuara, tapi hati mereka telah tahu satu hal, bahwa mereka tak memiliki banyak uang untuk membiayai operasi yang pasti menelan biaya besar. Akhirnya, dengan lunglai dan kesedihan yang menumpuk di dada, ia dan suami memutuskan untuk pulang dulu ke rumah. Dengan harapan, dari pihak keluarga ada yang bisa memberikan solusi demi memperjuangkan hidup buah hati yang mereka sayangi. Dalam hati, mereka tak ikhlas jika harus kehilangan lagi anak yang mereka sayangi. Semua karena ketidakberdayaan mereka untuk memperjuangkan hidup anak sebelumnya, anak kedua, kakak dari Adi Setyawan, yang juga menderita penyakit yang sama.

Menjual Rumah dan Tiga Petak Tanah

Anak adalah permata hati setiap orang tua. Apapun akan dilakukan demi anak, terlebih jika menyangkut hidup dan matinya. Tak terkecuali Jinarti dan Suyadi. Berbagai upaya dilakukannya. Rumah, tempat mereka bernaung selama ini di jual untuk biaya operasi pertama. Waktu itu, Adi sudah berusia 6 bulan. Tapi, operasi perdana Adi tidak memberikan hasil yang signifikan. Selayaknya anak kecil, ia selalu ingin bergerak aktif. Akibatnya, bekas jahitan yang masih basah malah mengalami infeksi. Karena tak menunjukkan perubahan, dokter menyarankan untuk melakukan operasi kedua saat usia Adi memasuki 9 bulan. Mereka kembali ke rumah sakit yang sama di Surabaya. Sepetak tanah di jual untuk membiayai operasi tersebut hasil dari ‘utang’ pada keluarga. Namun, malang tak dapat ditolak. Tiga bulan kemudian, dokter mengharuskannya operasi kembali, demi melihat kondisi Adi yang tiada berubah sedikitpun. Akhirnya, pembedahan kembali dilakukan. Perut Adi disayat lagi untuk membenahi ususnya yang masih bermasalah. Orang tua mana yang tidak sedih, jika harta telah terkuras habis, namun sakit sang anak tak kunjung sembuh. Keadaan Adi belum menunjukkan perubahan. Yang terlihat justru berat badannya semakin menipis. Karena tak melihat perubahan setelah empat kali operasi, Jinarti dan Suyadi kembali memeriksakan kondisi Adi anak mereka. Dan sepertinya, ujian sepasang suami istri ini tak kunjung berakhir. Oleh dokter, Adi masih diharuskan menjalani operasi kembali., padahal usianya saat itu telah 20 bulan. “Subhanallah, saya dan suami sudah mentok harus mencari biaya kemana lagi. Rumah telah di jual, berikut tiga petak tanah milik keluarga. Sampai kami dikucilkan karena dianggap hanya menyusahkan dan menumpuk hutang, “ ujar Jinarti sambil mengusap dada. Meski terus dirundung cobaan, suami-istri tersebut tak pernah mengutuk nasibnya. Doa dan usaha terus diupayakan. Niatnya hanya satu. “Anakku harus hidup, “ tekad Jinarti mantap. Sampai suatu hari, pertolongan Allah begitu dekat, seolah seberkas cahaya kehidupan untuk putra bungsunya.

Dana Sosial dari Sebuah Koran Nasional di Jawa Timur dan Pemda Setempat

Sesudah kesulitan pasti akan datang kemudahan. Janji Allah di Al Qur’an Surah Al-Insyirah ini sangat diyakini oleh pasangan Jinarti dan Suyadi. Bolak-balik rumah sakit untuk operasi anaknya yang menelan biaya besar, menimbulkan simpati dari rumah sakit, tempatnya berobat selama ini. Kondisi anaknya yang payah beserta carut marut ekonomi keluarganya menjadi referensi lengkap bagi rumah sakit tersebut untuk merekomendasikannya ke sebuah koran nasional di Jawa Timur guna mendapatkan simpati dari masyarakat melalui dompet sosial. Pihak pemerintah daerah kabupaten Trenggalek pun akhirnya tahu dan merasa harus bertanggung jawab akan kondisi salah seorang warganya. “Alhamdulillah, operasi kelima Adi, tak sepeserpun biaya kami keluarkan. Semua karena kemurahan dan kasih sayang Allah SWT melalui kepedulian masyarakat Jawa Timur dan pemerintah daerah, “ ucap Suyadi bersyukur. Operasi kelima tersebut, alhamdulillah menunjukkan perubahan yang menggembirakan. Perlahan kondisi Adi mulai membaik. Ia mulai bisa BAB seperti anak normal lainnya. Hanya, karena masih dalam taraf pemulihan, di usianya kini yang tengah menginjak 32 bulan, berat badannya masih terhitung kurang dari berat badan anak seusianya. Jika anak seusianya rata-rata memiliki berat badan 11-12 kg, Adi masih 9 kg 2 ons. “Tak apalah, yang penting Adi sudah baikan. Soal gizi, insyaAllah, kami akan terus berjuang untuk memenuhi kebutuhannya., “ pungkas Suyadi. “Bagi kami, kesembuhan dari penyakitnya yang membuat Adi kepayahan 2 tahun-an ini adalah yang utama. Tak mengapa harta kami habis untuk biaya pengobatannya. Karena yang penting bagi kami adalah dia bisa hidup. Semoga kelak bisa menjadi anak yang shaleh dan berbakti pada orang tua dan masyarakat., “ harap Suyadi khusyuk sambil mengelus sayang kepala anaknya tersebut. Anak, ibarat mata air bagi musafir yang kehausan di tengah perjalanan. Ia laksana lilin di tengah gelapnya malam, dan penghibur hati dikala gundah menerpa. Padanya pun terletak segala harapan orang tua. Perjuangan Jinarti dan Suyadi menjadi cermin dan pelajaran berharga bagi kita. Bahwa kesembuhan anak adalah sebuah harta yang tak ternilai. Kehidupan mereka harus diperjuangkan, meski nyawa taruhannya. Tak ada kata menyerah untuk nasib anak-anak kita di hari esok, meski tantangan besar menghadang di depan. Semoga Adi diberikan kesembuhan seterusnya, dan seperti doa serta harap kedua orangtuanya, kelak menjadi anak yang shaleh dan berguna bagi masyarakat. Amin ya robbal ‘alamin. @n

Rabu, 03 Desember 2008

Kreasi Bunga Cantik


Dan mulailah jari-jemari kasarnya menari, melilitkan kawat pada alat bantu, 
lalu melingkarkan benang pada pola kuntum yang terbuat dari kawat tersebut dengan rapi

Warna-warni kuntum yang tertata rapi dalam pot menarik hati untuk mendekatinya. Terbuat dari kawat dengan lilitan benang wol berbentuk daun yang dirangkai menjadi sekuntum bunga. Ada benang sari cantik yang turut menghiasinya. Sehingga menambah kesan cantik nan menarik. Siapa menyangka. Jejeran kembang berwarna-warni dalam pot tersebut hasil kreatif tangan-tangan kasar seorang lelaki paruh baya asal Malang.  Dibantu alat pelilit kawat yang dibuatnya sendiri sebagai alat bantu, ia mengais rezeki di kota Apel tersebut untuk membiayai sekolah dua orang putranya yang masih kecil. 
Namanya Imam Andrianto (40 tahun). Sehari-hari, ia menjajakan kreativitasnya itu berpindah-pindah. Kadang di kota Malang, hingga ke Batu. “Saya belum punya tempat, mbak. Lha wong, untungnya setiap hari juga nggak seberapa, cumin cukup buat makan. Itu aja sudah alhamdulillah, “ kata pria berkumis ini, yang mengaku tidak pernah mengecap manisnya bangku pendidikan, Sekolah Dasar sekalipun.  “Tapi, saya bisa menulis nama sampeyan lho, hehe.., “ ucapnya sambil tersenyum. 
Persaingan yang begitu besar di dunia pasar, membuatnya tidak cukup berani untuk menembak konsumen di level menengah ke atas.  Sehingga, dengan segala keterbatasannya itu, segmen yang selalu digarap dan tertarik dengan karya-karya tangannya adalah kebanyakan dari ibu-ibu yang tergabung dalam kumpulan PKK atau Dharmawanita kelas kelurahan dan anak-anak sekolah, yang notabene, membutuhkan sebuah kerajinan tangan, karena tuntutan pelajaran seni di sekolah. Walhasil, setahun ini, belum ada perkembangan yang berarti dari sisi omset penjualan. 

Memaksakan Diri untuk Tahu

Untuk memulai sesuatu yang baru, pastilah dibutuhkan ilmu. Hal ini, juga dirasakan oleh Pak Imam. Karena selama ini, ia sama sekali tak pernah bergelut dengan dunia rangkai-merangkai bunga atau kerajinan seperti halnya wanita. Sebelum menekuni kreasi bunga dari benang wol ini, ia lebih banyak bergaul dengan mesin-mesin motor dan minyak pelumas di bengkel. Singkatnya, bidang yang digelutinya, dulu, adalah seratus persen berbau lelaki. Olehnya, saat saudaranya mengajak Pak Imam untuk membantu usahanya yang bergerak di bidang seni merangkai bunga ini, di Sidoarjo, di bagian penjualan alat, cukup lama ia berpikir.  Namun, karena tak ada pilihan lain, ia akhirnya menerima. Di mulailah petualangannya untuk menjual alat sekaligus awal dirinya belajar menekuni pekerjaan tangan wanita yang halus tersebut.
“Mulanya cukup sulit. Tapi, seiring waktu, dengan memaksakan diri, saya akhirnya bisa membuatnya, “ aku Pak Imam bangga. Selang beberapa lama ia membatu usaha sang kakak tersebut, ia lalu memutuskan untuk  memulai sendiri tapi berpindah lokasi. Niatnya kemudian di utarakan pada sang kakak. Dan akhirnya, dengan modal Rp 50ribu, itupun murni pemberian darinya, Pak Imam menapaki karir barunya, sebagai penjual bunga. Dulu, tangannya saban hari terlumuri oleh hitamnya oli dan aroma mesin-mesin di bengkel milik kenalannya dan bermain dengan setir mobil sebagai supir. Tahun 2007 silam, merupakan langkah awal kakinya berpijak pada usaha kreasi bunga dari kawat sederhana dan warna-warni benang wol.
Uang sejumlah Rp 50ribu itu, dipakainya untuk membeli bahan. Karena alat bantu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan kuntum-kuntum bunga telah diberikan gratis oleh saudaranya. Beberapa gulung benang wol warna-warni, kawat kecil dan kawat yang agak keras didapatnya.  Dan mulailah jari-jemari kasarnya menari, melilitkan kawat pada alat bantu, lalu melingkarkan benang pada pola kuntum yang terbuat dari kawat tersebut dengan rapi. Tak lama, jadilah satu kuntum daun. Tangannya bergerak lagi dengan lincah, melakukan hal yang sama, hingga beberapa kuntum dengan warna yang sama terkumpul.  Selanjutnya, kuntum-kuntum tersebut dirangkai menjadi bunga yang cantik.

Senang Membagi Ilmu

Minggu pagi di lapangan Rampal Malang, suami dari Giyanti Tia Pramanti ini telah siap menjajakan hasil kreativitasnya.  Senyum terus mengembang diwajahnya. Sesekali, segelas kopi manis yang tak jauh dari tempatnya duduk, di minum untuk membasahi kerongkongannya.  Tak lama, beberapa wanita muda mendekat, lalu mengambil posisi jongkok sambil mengamati bunga-bunga yang terpajang.
Dengan senang, Pak Imam melayani calon pembelinya.  Dan ketika diminta untuk mengajarkan cara membuat bunga-bunga cantik itu, dengan sigap, ayah dua putra ini menjelaskan secara detail. Dimulai dari memegang alat untuk membuat pola kuntum, lalu cara melilitkan benang wol dan memberi benang sari, kemudian merangkainya menjadi sebuah bunga cantik.  Dengan sabar, Pak Imam menjelaskan kembali, saat wanita tersebut bertanya karena merasa belum jelas. Akhirnya… “Alhamdulillah, ada yang beli lagi…,” ucapnya sambil mengantongi uang sejumlah lima belas ribu rupiah.
“Jujur mbak, saya sangat senang, jika ada yang membeli bunga saya.  Kenapa? Karena, sebenarnya, mereka tidak hanya mendapatkan ilmu tentang bagaimana membuat bunga seperti ini, tapi juga memiliki alatnya. Kelebihan alat ini adalah tahan lama, bisa sampai setahun koq mbak, g bakalan rusak, insyaAllah. Trus, hanya bisa didapatkan di sini, di tempat saya, karena ini buatan sendiri. Ketiga, ia akhirnya dapat menularkan ‘ilmu’ saya kepada orang lain. Kan, akhirnya, jadi banyak yang bisa tuh.., “ jelasnya panjang lebar sambil berpromosi.
Itulah sosok Pak Imam.  Sedikit saja ilmu yang dimilikinya, dengan senang hati dibagi kepada orang lain.  Meski sekedar bertanya tanpa membeli bunganya sekalipun, ia tak pernah mempersoalkan. “Saya hanya ingin orang lain tahu, apa yang saya tahu, “ tegasnya. Baginya, adalah sebuah kesyukuran, jika setiap hari, ia bisa memberikan uang belanja kepada istrinya sekitar Rp 30rb.  “Ya, cuman segitu mbak pendapatan saya setiap hari.  Syukurnya, istri saya juga ikut meringankan ekonomi keluarga.  Dia buka usaha jahitan di rumah. Alhamdulillah, bisa buat makan dan bayar sekolah anak saya yang sulung, “ tuturnya sambil sesekali menghirup rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskannya lepas.
Di akhir bincang, Pak Imam sangat berharap, suatu hari bisa memiliki tempat atau stand untuk berjualan. Ia juga termotivasi untuk mengikuti pameran-pameran sebagai sarana promosi, sebagaimana yang pernah diikutinya, saat bekerja dengan orang lain, beberapa tahun lalu. “Saya ingin diberi kesempatan dan peluang untuk bisa mengenalkan kreasi bunga ini pada orang-orang. Biar bukan anak sekolah atau ibu-ibu PKK saja yang berminat, tapi, kalau bisa semua perempuan. Karena, ini sangat mudah dan alatnya juga murah” harapnya dalam. Amin…

Alamat Usaha :
Bapak Imam Andrianto
Jl Karya Barat No. 1
Kel. Purwantoro, Kec. Blimbing  Malang
HP. 0878 5906 5803

Bukan Karena Menikah

Agama Islam sudah tidak asing dalam kamus kehidupan Reni. Karena, banyak dari saudara ibunya yang masuk Islam, dengan alasan ‘ikut’ suami yang kebetulan muslim

Agar hidup dapat berjalan sesuai koridorNya, maka memiliki dan memegang teguh sebuah prinsip adalah sikap yang seharusnya.  Karena prinsip itulah, yang membuat hidup bisa berjalan dan semakin terarah. Begitupun keyakinan. Akan keberadaan Sang Pencipta adalah sebuah hal yang mutlak. Tapi kepada hambaNya, sesama manusia, ini yang sulit. Membutuhkan proses dan waktu yang cukup lama. 
Keraguan ini yang di alami oleh Cicilia Reni Lestari Rahayu (28 tahun), saat ingin memantapkan hati memeluk Islam, di tengah didikan keluarga Khatolik yang taat. Lingkungan yang turut mendukung (teman-teman dan sekolah), membuat dirinya sempat ‘maju-mundur’ untuk menerima Islam seutuhnya.  Namun, setelah prinsip yang dicarinya telah teruji pada seorang lelaki, serta merta, dengan senang hati dan segenap jiwa, dirinya melebur dalam dekapan Islam yang penuh kedamaian.

Keluarga Khatolik yang Taat

Agama Islam sudah tidak asing dalam kamus kehidupan Reni, sapaan akrabnya. Karena, banyak dari saudara ibunya yang masuk Islam, dengan alasan ‘ikut’ suami yang kebetulan muslim. Tapi kedua orang tua, khususnya sang ayah, sangat menerapkan disiplin ketaatan bagi anak-anaknya, terutama dalam hal beribadah.  Jadilah Reni kecil menjadi anak yang patuh pada orang tua. Setiap Minggu, tak pernah absen ke Gereja untuk mengikuti sekolah Minggu dan kebaktian. Keseriusan sang ayah dalam menjaga keimanan anaknya ini, semakin ditunjukkan dengan memasukkannya ke sekolah Khatolik. Walhasil, rumah dan sekolah, menjadi dua lingkungan yang selalu melingkari keyakinannya akan Tuhan.  
Meski telah dijaga ketat oleh dua lingkungan Khatolik yang cukup ketat, bukan berarti Reni membatasi pergaulannya dengan orang lain, khususnya umat Islam. Ia tetap membuka lebar peluang untuk bisa berteman dengan siapa saja.  Baginya, ilmu itu bisa diperoleh dari siapa saja.  Termasuk dengan Zainudin Kumara, salah seorang guru yang mengajarkan tentang komputer di sekolahnya, dan kebetulan Muslim, saat ia dan ibu tercinta pindah ke Sidoarjo, Jawa Timur.   

Berdebat dengan Guru

Ia mengenal Pak Zain, sejak duduk di Sekolah Menengah Pertama.  Seorang guru yang sangat perhatian pada murid-muridnya. Dengan sabar membimbing agar tak ada murid yang tak pandai dengan computer.  Karena kedekatannya dengan murid-muridnya, termasuk Reni, maka tak jarang terjadi dialog bahkan debat diantara mereka tentang agama masing-masing.  “Misalnya, Pak Zain bertanya tentang konsep trinitas dalam Kristen, ya saya jawab semampu saya. Terus, saya juga bertanya tentang shalat.  Seperti ‘Kenapa perempuan, jika datang bulan, ia tak boleh shalat alias libur?, “ ungkap ibu satu putri ini mencontohkan. 
Dialog dan debat terus saja terjadi. Bukan untuk mencari siapa yang salah atau benar, tapi untuk saling menguatkan keyakinan masing-masing.  Aktivitas ini tak terhenti, meski Reni telah menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama.  Saat ia resmi menyandang status sebagai anak SMU, diskusi dengan Pak Zain pun terus berlanjut.  
Kurang lebih sembilan tahun, ia mencari keyakinan sejati. Dialog dan debat yang terus berlangsung, selalu menyisakan tanya dan tanya tentang kebenaran agama yang dianutnya sejak kecil. Seakan terjadi perang dalam batinnya.  Ingin rasanya meninggalkan keyakinan lamanya, bentukan dari orang tua, tapi ketakutan dan kekhawatiran terlalu kuat merajainya. 
Kondisi keluarganya pun dirasakan tidak mendukung setelah ayah ibunya resmi bercerai.  Sang ayah memilih tetap tinggal di Yogyakarta, sementara ia dan ibu serta adiknya memilih pindah ke Surabaya, tinggal di rumah nenek. Ia pun sangat-sangat menyayangi dan mengidolakan sosok sang ayah. “Beliau teladan saya selama ini. Terutama dalam hal bakti kepada kedua orang tua.  Ayah saya seorang Bapak sekaligus anak yang penuh bakti pada orang tua. Dan, saya sebagai anak sulung, sangat ingin seperti beliau, “ceritanya dalam.  Sehingga, meskipun ia jauh dari ayah tercinta, perasaan berdosa jika kelak meninggalkan agama yang selama ini dianutnya sangat terasa.  Ia tak ingin jadi anak yang durhaka.

Ibu Menikah Lagi

Pikiran dan hatinya sedikit terbuka, saat ibunya menikah lagi. “Dan ibu saya masuk Islam karena menikah dengan lelaki Muslim, “ tutur Reni.  Tapi, sang ibu, sekalipun tak pernah memaksa ia dan adiknya untuk pindah agama.  “Kalian toh sudah pada dewasa. Udah besar.  Biar kalian yang menentukan jalan hidup sendiri di masa depan, “ katanya meniru ucapan sang ibu bijak. Di sarankan seperti itu oleh ibu tercinta, Reni semakin memikirkan sang ayah, nun jauh di Yogya sana.  “Apa gerangan kata ayah jika suatu hari, aku benar-benar pindah agama, memeluk Islam, “ batinnya sedih.
Langkah ibunya dengan menikah lagi kemudian pindah ke agama suami barunya, belum bisa mempengaruhi keteguhannya  untuk terus menetapi agamanya, Khatolik.  Begitupun adik semata wayangnya.  Sampai suatu hari, seorang lelaki yang selama ini dikenalnya dan sering mengisi hari-harinya mengutarakan niat untuk mengajaknya menikah.  Lelaki yang sangat dihormatinya dan sering mengayomi dengan sabar setiap uneg-unegnya.  Dia adalah Pak Zain, guru computernya saat SMP.  
Boleh dikata, Pak Zain ini adalah tipe lelaki yang sabar dan sangat taat menjalankan keyakinan Islamnya. Jika waktu shalat telah tiba, kegiatan apapun yang saat itu dilakukan, pasti segera ditinggalkannya.  Begitupun saat bulan Ramadhan tiba.  Tak seharipun ia menghubungi Reni, telpon ataupun sms, hingga genap tigapuluh hari, tepat Ramadhan usai.  Ia salut. Sangat salut.  Dan, berulang kali Reni melakukan kesalahan yang sejatinya melukai perasaan Pak Zain sebagai seorang lelaki, kata maaf selalu diberikannya.  Kesabaran dan kegigihannya inilah, yang akhirnya, lambat laun meluluhkan hatinya, dan  perlahan mengikis keimanan Khatoliknya.

Takut Murka Sang Ayah

Hatinya telah mantap menerima ajakan Pak Zain untuk menikah. Tapi, disatu sisi batinnya ketakutan, bagaimana ia harus mengutarakan inginnya untuk berpindah agama menjadi Muslim, kepada sang ayah di Yogya, agar ia bisa segera menikah dengan lelaki pilihannya.  Akhirnya, dengan tekad  bulat dan ‘nekad’, ia dan Pak Zain berangkat ke Yogya menemui sang ayah, guna meminta restu. 
Mungkin telah menjadi suratan dari Yang Kuasa, bahwa tak ada aral yang besar merintangi niat baik mereka.  Setelah dua kali bolak-balik menghadap sang ayah, akhirnya restupun di dapatkan.  Dan ditemani calon suami, Reni mengikrarkan syahadat sebagai bukti ke-Muslim-annya di masjid Al-Falah Surabaya pada tahun 2002 silam.  
Setahun ia memeluk Islam di bawah bimbingan calon suami, Juli 2003, ia resmi melepaskan status lajangnya. Ia menikah dengan Zainudin Kumara, lelaki yang selama ini selalu berdebat dengannya tentang agama.  Rasa senang dan bahagia tak terkira.  Dan sebuah keyakinan dihati, bahwa insyaAllah, ia tak salah pilih. Reni yakin, Pak Zain, mantan gurunya yang kini telah jadi suaminya, belahan jiwanya, mampu membimbingnya dengan baik, dalam naungan Islam sebagai keyakinan barunya.  
Saat ini, meski masih menempati sebuah rumah kontrakan sederhana  di jalan A. Yani No. 2 Kel. Medaeng Kec. Wari Sidoarjo, ia merasa tenang.  Seorang putri cantik,  Salsabila Resa Putri (4th) telah hadir sebagai buah cinta mereka.  Adik semata wayangnya pun telah memilih menjadi Muslim.  Belajar tentang syariat Islam masih terus dilakukannya. Pelan-pelan, namun pasti.  Seperti belajar membaca Al Qur’an di sekolah anaknya setiap hari, atas bimbingan salah seorang guru di TK sang anak.  “Saya harus belajar dan harus pinter. Suatu hari anak saya bertanya dan minta diajarin, kan malu tuh kalo saya sendiri tidak tahu, “ tangkisnya sambil tersenyum. @n

Kerajinan Ukir Cantik 'MATTO'

Sebuah rumah di kawasan Dieng Malang pernah menjadi kanvasnya dalam berkarya. Orisinil dari ide dan bakatnya yang telah ada sejak kecil

Bukan hanya kota Jepara  Jawa Tengah yang terkenal dengan ukiran kayunya nan menarik dan khas. Di Jawa Timur pun bisa kita jumpai. Tepatnya di Turen Malang. Seorang pemuda lulusan pesantren di Sepanjang Gondanglegi, sejak tahun 1996 menekuninya hingga saat ini. Sempat kuliah di Fakultas Tarbiyah Salahuddin Al Ayyubi juga, namun karena keterbatasan biaya, ia tidak meneruskan. Ahmad Maftukhin namanya.  Putra salah seorang Kyai yang cukup ternama di daerahnya.
Memasuki ruang kerjanya yang sederhana, tampak berbagai macam alat ukir yang senantiasa dipakainya. Ada caweng (penguku), palu, penilap, kol, coret (untuk membatik), dan buluk. Tak ketinggalan kertas karton yang dipakainya untuk menggambar atau mendesain pola ukir. Setiap hari, sepulang kerja sebagai tenaga kontrak di PT Pindad, ia melakukan rutinitas seninya ini. “Meski bekerja, saya tetap fokus mengerjakan kerajinan ukir. Saya sudah terlanjur cinta dengan pekerjaan seni. Lagian, saya cuma tenaga kontrak di Pindad. Lha kalau saya nanti dipecat atau tidak bekerja lagi, anak dan istri saya makan apa?”, pungkasnya, kemudian menawari Muzakki air mineral pelepas dahaga di siang yang cukup terik.

Modal Awal dari Saudara

“Saat ‘nyantri’ di pesantren Sepanjang Gondanglegi, banyak temen saya yang asalnya dari Jepara. Dari merekalah saya mengenal kerajinan ukir. Saya mulai belajar karena saya berpikir, setelah lulus nanti, akan kerja apa? Nah, kebetulan bakat seni sudah saya miliki sejak kecil, sehingga untuk belajar mengukir bukanlah hal yang sulit”, tutur lelaki tigapuluh dua tahun ini mengawal cerita.
 Keinginannya untuk belajar mengukir semakin bulat saat melihat sebuah sangkar burung yang terbuat dari kayu, dipenuhi oleh ukiran. Sangat indah. Ia kemudian menyampaikan hasratnya pada teman-temannya asal Jepara.  Oleh mereka, disarankan untuk langsung belajar ke sumbernya di Jawa Tengah sana, agar bisa lebih optimal dan profesional.  “Alhamdulillah, niat saya ini disambut baik oleh orangtua. Bapak dan ibu merestui. Akhirnya, saya berangkat ke Jepara, khusus belajar mengukir selama enam bulan”, terangnya.
Sepulang dari belajar di Jepara, harusnya sertifikat bisa diperoleh. Syaratnya harus punya karya.  Tapi, karena orang tuanya mengharuskan segera pulang, sertifikat pun tidak diperoleh. Akhirnya, ilmu yang diperolehnya di sana, diaplikasikan di rumah. Di dukung oleh alat-alat ukir yang didapatnya dari belajar di Jepara, istri dari Wiwik Fauziah ini membuat karya. Di awali dengan modal dari kakaknya senilai Rp 2.500, tahun 1997. Uang yang sedikit itu kemudian digunakan membeli bahan untuk sebuah sangkar burung.  “Alhamdulillah. Sangkar burung sebagai karya perdana saya jadi. Dan ndak nyangka bisa laku ditawar orang senilai Rp 75. 000.”, ceritanya senang.  Nilai ukiran yang ada di sangkar burung itulah yang disukai orang. Akhirnya, Ahmad menjadi lebih termotivasi untuk menghasilkan karya-karya baru yang lebih bagus dan tentunya orisinil. Ia fokus membuat ukiran di sangkar burung selama kurang lebih empat tahun. Dari ukuran kecil hingga besar bermotif asmat. 

Melayani Jasa Ukir

Untuk mengukir, pasti dibutuhkan wadah. Ahmad memilih kayu jati sebagai kanvasnya. Meski harganya lumayan mahal, tapi dari sisi kualitas, hasil ukiran akan terlihat lebih bagus. Pada umumnya, pemesan ukiran telah menyiapkan bahan, sehingga Ahmad hanya dihargai dalam hal jasa ukir.  
Ia pun pernah menjalin kerjasama dengan sebuah perusahaan kontraktor. Semua bahan didrop kepada Ahmad untuk diukir sesuai permintaan, setelah selesai menurut waktu yang disepakati, iapun kembali mengirimkan bahan-bahan tersebut ke perusahaan yang bersangkutan. “Tiap pemesan keinginannya berbeda-beda. Ada yang pesan langsung jadi. Maksudnya, bahan dan ukiran terserah saya. Ada juga mereka menyiapkan bahan dan desain, saya tinggal mengerjakannya. Dan, ada yang bahannya dari mereka, desainnya dari saya. Semua terserah konsumen. Saya tinggal membantu mengerjakan dan menuntaskan keinginan mereka”, terangnya.  
Beberapa hasil karyanya dapat ditemui dikediaman orang tuanya. Ada hiasan dinding bertuliskan kaligrafi, adapula gambar bunga teratai, lemari (rak) buku, meja oshin, dampar, hiasan pintu, gantungan vas duduk, dan lain-lain. “Alhamdulillah, banyak teman-teman saya yang dari Jepara malah belajar ke saya. Padahal, tadinya saya yang belajar ke daerah mereka”, urainya sambil tertawa.

Punya Ciri Khas

Bukan hanya lagu, pakaian, atau dialek khas yang pasti dimiliki oleh setiap daerah. Dalam hal seni ukir pun, ini mesti ada.  Jika ada yang bermotif burung merak, atau bermain diwarna, maka Ahmad memakai motif teratai untuk setiap ukirannya pada perabot meubel atau interior rumah. Misalnya untuk pemesanan angin-anginan (lubang angin yang ada dibagian atas pintu atau jendela) atau tempat tidur. Dibagian tertentu, dijumpai motif bunga teratai. “Saya ingin, jika orang lain melihat sebuah ukiran, maka dari motif yang ada mereka langsung tahu bahwa sayalah yang membuatnya”, tegasnya semangat. Keputusannya untuk berpindah ke ukiran meubel dan interior rumah dilatarbelakangi oleh permintaan konsumen. Menurutnya, upaya ini harus ditempuh agar bisa tetap eksis dan bersaing di dunia kerajinan ukir. Namun bukan berarti motif lama yang dipakainya terlupakan. “Tetap saya pertahankan. Semuanya tergantung order saja koq”, jelasnya. 
Satu hasil karyanya yang sangat fenomenal di tahun 2002-2003 lalu. Ia mendapatkan borongan dari seorang kaya di desanya yang memiliki rumah di kota Malang. Ahmad diminta untuk menuangkan idenya pada sebuah rumah baru dan besar berlokasi di Dieng. “Waktu itu, saya diajak si pemilik rumah berkeliling untuk melihat berbagai macam motif ukiran. Setelah itu, saya diminta untuk berkreasi di rumah Beliau. Awalnya saya bingung.  Tapi Alhamdulillah, akhirnya dapat ide. Jadilah rumah itu sebagai kanvas saya. Dibantu oleh empat orang kawan, dalam setahun rumah itu akhirnya selesai. “Lumayan, hasilnya bisa buat bengkel ukir sendiri di rumah, melengkapi peralatan yang kurang, dan membiayai kuliah saya setahun di Salahuddin Al Ayyubi”, akunya senang.  Satu yang disayangkannya, karena sampai saat ini, ia belum bisa mendokumentasikan karyanya tersebut sebagai hak paten. @n

Alamat Usaha :
Kerajinan Ukir “MATTO”
Owner : Ahmad Maftukhin
Jl Kauman I No. 2 Rt. 5 Rw. 2
Turen – Malang
Telp. 0341-8604856


Seperti Air yang Mengalir

Di tengah pailitnya ekonomi keluarga, ia masih bisa berpikir sehat untuk berbuat sesuatu. 
Semua demi buah hati yang disayanginya

Hidup bersahaja, menjadi pilihan dari ibu Sumintarsih (47th)  dan keluarga.  Apa adanya, yang penting hari ini bisa makan. Tak pernah mengeluh dengan gaji kecil yang saban bulan diberikan oleh suaminya, seorang guru Matematika, yang mengabdikan diri di sebuah SMA Negeri di Gondanglegi Malang. Semua diterimanya dengan lapang dada, ikhlas.  Ia sudah bersyukur, bisa menempati sebuah rumah kecil sebagai tempatnya berlindung beserta dua orang anaknya, dari terpaan panas dan hujan, meski masih dalam status kontrak. Seperti air yang mengalir. Tenang, namun pasti sampai ke muara.

Imbas Krismon

Tahun 1997, bangsa ini dilanda krisis moneter yang hebat. Guncangan ekonomi terasa di hampir seluruh lapisan masyarakat.  Harga-harga kebutuhan pokok melonjak naik, dan tidak diiringi oleh kenaikan gaji khususnya pegawai negeri. Banyak rakyat yang menderita kelaparan. Anarkis terjadi di mana-mana, demi memperebutkan sepiring nasi. Kondisi ini, dialami pula oleh ibu Sumintarsih dan keluarga. 
Berharap dari gaji suaminya yang hanya pegawai negeri, tentulah tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.  Jika sebelumnya, ia hanya melayani suami dan dua orang anaknya di rumah, setelah pailit tersebut menimpa, mau tak mau, ia berpikir keras untuk membantu ekonomi keluarga.  Ia ingin, dua orang anaknya, Novan dan Ellen yang saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar, terus bersekolah.  Ia tak ingin, karena benturan ekonomi, buah hatinya itu harus kandas dalam cita-cita. “Mereka anak-anak yang pinter, sayang banget kalau harus berhenti, “ ucap Bu Giarto, sapaan akrabnya.
Akhirnya, otaknya pun berputar cepat. “Saya bisa membuat kue dan macam jajanan. Masakan saya lumayan enak, kata anak-anak dan suami seh… ,” tuturnya sambil tertawa. “Nah, dengan modal Rp 75ribu, saya memutuskan untuk membuat kue, dan saya titipkan ke bakul yang lewat di perumahan ini”, lanjutnya.  “Bismillah, semoga Allah memudahkan dan memberikan barokah pada usaha saya ini, “ harapnya di awal memulai usaha. 
Sejak itu, tiap hari, jam setengah tiga pagi, ia telah bergegas bangun.  Semua bahan disiapkan untuk membuat jajan yang menurutnya bakal diminati ibu-ibu dan warga di perumahan Puri Cempaka Putih II Malang ini. Ia fokus untuk membuat donat, dan weci (bakwan). Untuk donat, agar lebih bervariasi, dibuatnya dalam tiga bentuk, donat sate (kue donatnya ditusuk pake tusuk sate), donat isi, dan donat bertabur cokelat dan kacang.  “Alhamdulillah, jajanan yang saya titipkan pada bakul yang melayani masyarakat di perumahan, selalu ludes.  Banyak yang suka, “ ceritanya senang. 
Melihat usaha sang istri membantu ekonomi keluarga menuai sukses, pak Giarto tak tinggal diam. Ia lalu mengajak kedua anaknya untuk membantu sang ibu.  Kadang membantu membuat adonan, membungkusi atau menggoreng.  Di saat orang-orang masih tertidur pulas terbuai mimpi, pagi-pagi buta, satu keluarga tersebut telah memulai aktivitas dengan penuh semangat.  Tak ada yang berkeluh. Semuanya satu, merasa senang bisa ikut andil membantu ekonomi keluarga. 

Bantuan Pinjaman Lunak

Roda kehidupan terus berputar. Begitupun dengan usaha jajanan Bu Giarto.  Selama sepuluh tahunan bergelut di dunia ‘perjajanan’, dirasakan sangat membantu ekonomi keluarga.  Jenis jajanan pun telah bertambah dan semakin berkembang. Jika di awal, baru bisa membuat dua jenis kue, donat dan weci, maka saat ini telah meningkat menjadi beberapa jenis jajan bahkan lauk-pauk.  “Donat dan weci masih tetep banyak peminatnya. Saya nambah bikin lemper, roti kukus, dan pisang goreng.  Dan kadang-kadang jika sempat, saya juga bikin lauk-pauk. Ya botok, brengkes, macem-macem, “ terangnya.  “Alhamdulillah, bukan hanya saya titipkan ke bakul yang lewat, tapi j uga di rumah.  Banyak juga tetangga yang langsung beli ke rumah lho.”
Serasa gayung bersambut, ia lalu ditawari bantuan pinjaman lunak dari sebuah lembaga zakat besar di kota Malang.  Tanpa bunga.  Berawal dari keaktifan anak sulungnya Novan beribadah di masjid al-Basyiroh, sebuah masjid yang ada di kompleks perumahan Puri Cempaka Puri II.  Melihat konsistensi sang anak ke masjid setiap waktu, maka dari pihak lembaga zakat tersebut menunjuknya untuk menjadi relawan, perpanjangan tangan dari lembaga untuk menunjuk masyarakat yang ada di perumahan, mereka yang butuh modal untuk berusaha. Juga, bagi yang telah punya usaha, dan butuh tambahan modal untuk mengembangkan usahanya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bu Giarto.  Ditambah oleh pernyataan sang anak,  yang membuatnya semakin mantap. ‘Bu, ini uang barokah. Dana ZIS dari masyarakat. Murni bantuan pinjaman tanpa bunga. Jadi, tak ada riba di sini. Semua halal, insyaAllah’.
Akhirnya, ia pun menyambut baik bantuan itu. Dijadikannya sebagai tambahan modal buat usaha jajanannya. “Alhamdulillah, sekarang saya bisa menitipkan jajanan saya ke tiga bakul yang sering lewat di perumahan ini. Subhanallah, benar-benar barokah, “ ucapnya senang. 

Berkah dari Allah

Barokah yang sangat besar selalu dirasakannya saat bulan Ramadhan tiba.  Banyak masyarakat yang pesan untuk takjil, dan buka puasa di rumah-rumah. Bahkan tak jarang, banyak yang pesen nasi kotak juga, hingga dirasanya kewalahan. “Syukurnya, Bapak dan anak-anak selalu membantu. Jadi kewalahannya masih bisa diatasi, hehe…, “ terangnya sambil tersenyum.
Meski keuangan keluarga belum sepenuhnya bisa teratasi, ia tetap bersyukur.  “Masa sekarang tak sesulit dulu lagi.  Alhamdulillah. Anak-anak juga ikut meringankan beban kami selaku orang tua.  Si Novan, udah dapat gaji sebagai relawan dari lembaga zakat itu, dan ngasih privat ngaji ke anak-anak kompleks. Bahkan sudah bisa beli motor sendiri, meski bekas.  Setiap hari di pake ke kampus dan ngaji Qur’an dan Kitab ke Kyai-Kyai. Adiknya, si Ellen, juga tak mau kalah.  Ia juga ngasih privat mata ajaran umum ke anak SMP dan SD yang tinggal di kompleks ini. Mereka semua pinter-pinter. Mungkin turunan dari Bapaknya kali…, “ ucapnya lagi sambil tertawa senang.
Jika kita mau berusaha, insyaAllah diberi jalan oleh Allah. Begitulah keyakinan ibu Sumintarsih.  Di tengah pailitnya ekonomi keluarga, ia masih bisa berpikir sehat untuk berbuat sesuatu. Bukan malah memprotes dan menyalahkan suami yang hanya bisa memberinya uang belanja secukupnya. Ia tetap berlapang dada dan ikhlas menerima pengorbanan suami tercinta, yang telah berupaya keras memenuhi tanggung jawab, menafkahi keluarga.  Yang ada dibenaknya, adalah ‘saya harus berbuat sesuatu’, demi nasib buah hati yang sama dicintainya. 
Ia pun telah diberikan barokah anak saleh oleh Allah SWT.  “Saya dulu seorang Nasrani. Bertemu Bapak, kemudian berIslam di KUA. Mungkin karena kesibukan, Bapak tidak sempat membimbing ke-Islam-an saya. Akhirnya, saya cari tahu sendiri. Dengan aktif mengikuti pengajian, dan Yasinan beberapa kali seminggu. Yang menjadi motivasi saya adalah anak saya sendiri, si Novan.  Saya sangat kagum sekaligus malu. Karena di usianya yang masih muda, ia begitu rajin ke masjid, mengaji kitab ke Kyai-Kyai dan sholat malam.  Subhanallah. Ini anugerah terbesar dari Allah bagi saya.  Bukan hanya rajin beribadah, di kampus ia termasuk anak berprestasi, pun adiknya si Ellen, “ ungkapnya sambil terus mengucap syukur.   “Saya punya impian.  Melihat profesi Bapak sebagai guru, dan anak-anak yang setiap hari memberikan les privat, sementara rumah kami ini sangat sempit. Saya ingin, suatu hari, jika rumah ini lunas (blok BG. 16), di sebelah timurnya bisa dibangun ruangan, seperti kelas, khusus buat ngajar privat. Saya terkadang kasihan melihat anak-anak privatnya Ellen yang harus menggelosor di lantai ruang tamu ini saat belajar. Berdesakan pula.  Terus, saya juga ingin, sangat ingin, punya toko atau warung kecil untuk menjajakan kue-kue saya setiap hari. Jadi, selain nitip ke bakul-bakul, saya juga bisa melayani pembeli di rumah dengan baik.  Ada toko kue yang sederhana tapi bersih, “ ungkapnya sambil mengamini mimpinya. Pak Giarto yang duduk di sebelahnya, ikut mengangguk takzim.  Amin, amin, amin.  @n

Berdakwah di Kawasan Merah

Image yang terbangun dalam benak mereka tentang masjid adalah tempat yang suci, sacral.
 Sementara diri mereka kotor

Siapa yang tak mengenal Jarak dan Doli di kota Pahlawan Surabaya.  Dua daerah merah ini, ditengarai sebagai daerah prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Setiap saat ramai dikunjungi oleh para peminat kesenangan duniawi. Dari warga kota Surabaya sendiri dan sekitarnya, hingga luar kota. 
Beraneka ragam model baju terpampang di etalase toko. Mulai dari yang sopan hingga terbuka. Sekilas seperti kompleks pasar atau pertokoan biasa, namun siapa yang menyangka, di ujung sore, menjelang Maghrib, bukan hanya aneka model baju yang terpampang di etalase.  Kita pun bisa menjumpai, berbagai model wanita (asli) yang bisa tertangkap indra dengan jelas dibalik kaca rumah-rumah bordil yang berderet rapat. Mengenakan baju seadanya sambil menebar senyum manis menggoda. 
Tak sedikit warga yang resah dengan keberadaan daerah merah ini di sekitar pemukiman mereka, Jl Putat Jaya.  Berbagai upaya dilakukan untuk mengobati penyakit masyarakat yang sangat berbahaya ini. Mulai dari dakwah keliling didaerah tinggal para mucikari, hingga pembukaan TPA-TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an) bagi anak-anak mereka. Satu diantara segelintir warga yang peduli pada kondisi ini adalah Ustadz  H. Nu’man.  Beliau adalah warga asli Putat Jaya III A No. 30. Lahir dan besar di lingkungan ‘esek-esek’, membuatnya prihatin akan nasib anak-anak dan perkembangan moralitas mereka kelak dikemudian hari.

Meneruskan Jejak Abah

“Sejak tahun berapa Abah konsen dengan kondisi masyarakat di daerah Jarak ini, saya lupa.  Karena waktu itu saya masih kecil”, tutur H. Nu’man mengawal cerita.  “Yang saya ingat betul, Abah saya itu benar-benar seorang pejuang. Dan menancapkan perjuangannya itu di hati semua anak-anaknya”, lanjutnya.  “Hasilnya, sebuah masjid di dirikan di daerah ini, dengan tujuan meminimalisir aktivitas asusila mereka, minimal di waktu-waktu shalat atau bulan Ramadhan seperti ini”, tambahnya.
Beliau menuturkan, sejak masjid tersebut dibangun, aktivitas negative di sekitarnya cenderung menurun. Bahkan, satu gang yang tak jauh dari masjid, Alhamdulillah telah bersih dari aktivitas tersebut. 
Hanya, awal berdirinya tantangannya sangat berat. Tak jarang kotoran manusia memenuhi halaman dan tembok masjid.  “Iya, ulah dari warga yang tidak suka dengan keberadaan masjid tersebut yang dirasa mengganggu mata pencaharian mereka”, terang H. Nu’man.
Perjuangan sang Abah yang menjadi penggerak dakwahnya selama belasan tahun ini.  “Saya merasa bertanggung jawab untuk merubah lingkungan ini. Tapi, Subhanallah, tantangannya luar biasa. Bukan dari keluarga saya, tapi dari warga sendiri. Dianggap sok suci-lah, cari muka-lah, dan macem-macem. Tapi saya yakin, selama yang saya lakukan tidak bertentangan dengan perintah Allah, saya nggak akan pernah takut.  Bukankah telah ada perintah bahwa barangsiapa yang melihat sebuah kemungkaran, maka diwajibkan untuk mencegah.  Kalau tidak bisa dengan tangan (perbuatan), maka lakukan dengan lisan. Dengan lisan juga tak bisa, maka ingkarilah dengan hati, tapi itulah selemah-lemah iman.”, pungkasnya. 

Mendirikan TPA

Harta miliknya yang tak seberapa, modal dari profesinya sebagai salah seorang staf pengajar di UIN Sunan Ampel Surabaya dan sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Agama di Gresik, memberanikan dirinya untuk berbuat bagi masyarakat Jarak.  Dengan support  dari para donatur dan segenap pemuda kampung yang urun peduli,  ia mendirikan Taman Pendidikan Al Qur’an Jawwarotul Hikmah dibawah bendera yayasannya Darul Aithom sekitar tahun 1991 – 1992 silam.  Sasaran utama pendirian TPA tersebut adalah warga miskin dhu’afa, plus anak-anak dari para mucikari yang bertebaran di RW tempat tinggalnya.
“Dhu’afa itu berasal dari kata dho’if, yang artinya lemah. Menurut saya, lemah itu ada dua, lemah iman dan lemah financial. Para mucikari ini termasuk ke dalam lemah iman. Nah, pendekatan yang saya lakukan adalah lewat anak-anak. Terkadang, ada yang mengantarkan anaknya ke TPA dengan pakaian yang sangat minim, setelah itu kembali beroperasi. Namun, lama-kelamaan mereka sepertinya risih, hingga akhirnya memakai pakaian yang lebih sopan”, jelasnya.
Image yang terbangun dalam benak mereka tentang masjid adalah tempat yang suci, sacral. Sementara diri mereka kotor.  Anggapan inilah yang melandasi H. Nu’man untuk mendirikan TPA, bukan di masjid melainkan di yayasan miliknya.  “Biar mereka tidak sungkan untuk datang dan masuk, juga ikut dalam setiap program wali santri seperti pengajian dan shalawatan”, tandas pak Haji.  Iming-iming pun terkadang terlontar saat perekrutan anggota jamaah shalawat . “Saya bilang ke mereka, jika ibu-ibu rajin ikut shalawatan, maka insyaAllah rezekinya lancer. Alhamdulillah, sejak program pengajian Al Qur’an, Kitab Kuning dan Shalawatan ini digelar di bulan Februari lalu, sudah puluhan mucikari yang selalu ikutan”, terang warga Nahdliyyin ini sambil tersenyum.

Obsesi Mendirikan Pondok

“Saya selalu menekankan kepada teman-teman di TPA, bahwa berjuang di daerah merah seperti ini tidaklah mudah. Terkadang ada oknum yang memanfaatkan keikhlasan para ustadzah, belum lagi gerakan Missionaris yang semakin gencar.  Kita harus istiqomah, semata-mata mengharap ridho dari Allah. Semoga ini menjadi amal jariah yang akan mengantarkan kita ke syurga kelak”, tukas suami dari Muqoddasati ini.
Lelaki jebolan S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini punya obsesi untuk mendirikan pondok pesantren di daerah Jarak. Khusus bagi dhu’afa miskin dan anak-anak para mucikari. “Malamnya mereka bisa mondok di sini, paginya mereka bisa belajar di yayasan. Semua gratis. “, urainya mantap.  Disamping itu, ia menghimbau kepada pihak-pihak yang memiliki akses ke pendidikan dan ketrampilan untuk bekerjasama mengentaskan kelemahan iman dari para mucikari.  “Mereka sejatinya ingin keluar dari pekerjaan maksiat ini. Tapi, mereka butuh keterampilan untuk sebuah pekerjaan baru. Misalnya menjahit, atau penata rias di salon untuk mengatasi kelemahan financial mereka. Tapi, perhatian pemerintah dan pihak terkait lainnya masih sangat minim”, ucap lelaki kelahiran Surabaya, 22 Februari 1969 ini.
Semangatnya untuk terus mengentaskan kelemahan iman para warga di daerah Jarak ini terus berkobar.  Atas dukungan penuh sang istri tercinta dan segenap donatur, ia berharap, pondok pesantren gratis  untuk dhu’afa miskin ini segera terwujud.  Hanya kepada Allah, bapak H. Nu’man senantiasa mengembalikan segala  urusan.  @n

Putu Cangkiri Gowata



Warnanya cokelat, ada juga yang putih. Bentuknya bundar diisi parutan kelapa, rasanya agak manis

Putu Cangkiri Gowata namanya. Sangat enak jika ditemani oleh secangkir teh di sore hari, sambil menunggu matahari terbenam di ufuk barat. Kue khas masyarakat kabupaten Gowa Sulawesi Selatan ini bisa Anda jumpai di sepanjang jalan lintas propinsi dari kota Makassar menuju kabupaten Gowa dan sekitarnya.  Berjejer rapi dengan nomor kios yang berbeda, menjajakan aneka macam makanan dan minuman, khas masyarakat kabupaten tersebut. 
Tapi, jika Anda jalan-jalan di waktu sore menjelang maghrib, dan kebetulan melewati jalan AP. Pettarani, tidak jauh dari gedung Telkomsel Pengayoman, maka Anda akan melihat kue ini. Seorang ibu bernama Sumiati menjual kue putu cangkiri ini dengan plang kecil di atas kotak kacanya tertulis “Putu Cangkiri Gowata”. Sosoknya sangat biasa. Se-biasa kotak kaca tempat putu cangkiri-nya diletakkan, yang setia menemani dalam 5 tahun perjalanannya. 
Suaminya Syarifuddin selalu mendampingi.  Mulai dari menyiapkan bahan-bahan putu, hingga melayani pembeli.  Dari jam 5 sore hingga menuju pergantian hari, sekitar jam 00.00 wita, tak pernah berkesah.  Meski esok, ia harus pagi-pagi berangkat ke sawah, menggarap tanah milik orang sebagaimana petani-petani yang ada di desanya. 
Sumiati adalah perempuan desa yang sederhana.  Namun dalam kesederhanaannya, ia terlihat sedikit berbeda dengan ibu-ibu rumah tangga lain di desanya, Bonto Kaddo Pepe, Poros Limbung, kabupaten Gowa.  Jika setelah menikah, mereka harus membantu suami menggarap sawah setiap pagi, maka ia lebih memilih berjualan kue putu cangkiri.  Dan tak ayal, tempatnya cukup jauh dari desa tempatnya tumbuh dan beranak- pinak, di kota Makassar.  

Mengikuti Jejak Kakak

Keterampilan membuat kue ini sudah didapatkannya secara alamiah.  Dari orang tua yang hampir setiap hari membuat namun hanya untuk konsumsi keluarga, dan juga dari sang kakak yang kebetulan menjualnya ke tetangga sebagai ‘pencuci mulut’ di senja hari, ditemani secangkir teh atau kopi manis.  Dan mungkin karena kebiasaan inilah, maka kue putu ini dikenal dengan sebutan putu cangkiri.  Karena tak lengkap rasanya jika tidak ditemani oleh secangkir teh atau kopi tadi. 
Berawal dari seringnya membantu kakak menjual kue ini.  Hingga suatu hari di tahun 2003 silam,  ibu Sumiati menetapkan hati untuk mengikuti jejaknya.  Dan karena tak pernah terlihat rasa bosan di lidah penikmat kue ini dan pertimbangan kemudahan akses, maka ia memutuskan kota Makassar  sebagai tempat awal kakinya berpijak memulai usaha.  Mengadu nasib, meski harus menjalani resiko jarak, kurang lebih 20 km, yang harus ditempuh dengan naik sepeda motor bersama suaminya dari desa tempat tinggalnya.
Syarifuddin suaminya, selalu mendukung keinginan sang isteri.  Meski lelah masih menggayuti tubuhnya karena setiap pagi harus ke sawah menggarap tanah milik orang, ia selalu siap sedia menemani istri tercinta ke kota Makassar.  Karena tidak memiliki sanak saudara satupun di kota metropolitan ini, maka ia dengan rela membantu sang isteri membawakan perlengkapan jualannya setiap hari.  Ada kotak kaca berukuran 100 x 50 cm tempat kue putu yang telah siap di jual, wadah tempat kue putu yang belum matang, kukusan, kompor, dan cetakan putu. Mengandalkan anaknya yang masih kecil untuk membantu ibunya, tentulah tenaganya belum cukup kuat. 
Ibu Sumiati yang hanya mengenyam pendidikan SMP ini sadar, bahwa penghasilan suaminya sebagai petani penggarap tidaklah cukup untuk membiayai kehidupan mereka. Dengan tiga orang anak yang masih kecil dan duduk di bangku pendidikan sekolah dasar, pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit.  Makanya, menjadi istri dan ibu mandiri, menjadi pilihannya.  Ia berharap, dengan pilihannya tersebut, anak-anaknya kelak bisa menjadi orang-orang yang juga mandiri dan sukses.

Modal Awal Rp 100.000

Untuk memulai usaha, tentu saja dibutuhkan modal. Besar kecilnya tergantung jenis usaha yang hendak dijalani.  Seperti halnya putu cangkiri sebagai usaha rumahan, ibu Sumiati memulainya di tahun 2003 dengan modal Rp 100.000.  Modal tersebut di gunakan untuk membeli alat-alat pendukung seperti kompor, tempat kukusan, pencetak kue putu dan kotak kue sederhana serta sebagian bahan-bahan kue putu.  Syukurnya, bahan-bahan dasar kue ini sangat mudah diperoleh dan termasuk murah di desanya.  Karena untuk kelapa saja, ia bisa membeli dengan harga miring dari tetangga begitu pula dengan tepung beras ketan dan beras biasa.  Hanya gula merah dan gula pasir saja yang tetap dibelinya dengan harga normal di pasar. 
Dalam sekali jual, ibu Sumiati harus menyediakan bahan kue berupa tepung beras ketan sebanyak 3 liter,  dan tepung beras biasa 1 liter (ukurannya 3 : 1), kelapa 4 butir, gula pasir 1 liter, gula merah 1 kg dan pengundang selera berasal dari aroma daun pandan sebanyak 10 lembar.  Dari semua bahan-bahan ini, bisa menghasilkan 200 biji kue putu, berwarna cokelat (bahan dasar di tambah gula merah), dan putih (bahan dasar gula pasir). “Alhamdulillah, sampai hari ini, pelanggan-pelanggan saya belum bosan. Mereka suka dengan putu yang saya buat. Katanya, rasanya khas.  Dan mungkin karena yang berjualan di sepanjang jalan AP. Pettarani ini hanya saya, ya…mereka semuanya membeli di tempat saya”, ceritanya senang.  “Satu orang itu minimal membeli 4 biji (Rp 2000, Rp 500/biji).  Kadang-kadang ada yang langsung membeli 50-100 biji.  Buat oleh-oleh katanya”, tambahnya lagi. 
Dari hasil penjualannya ini, ibu Sumiati bisa membantu suami menghidupi dan memperbaiki ekonomi keluarga.  Di tahun pertama, ia sudah bisa membeli sebuah kotak kaca yang keadaannya lebih baik dari tempat kue putu cangkiri sebelumnya.  “Alhamdulillah, bisami na liat orang kue putuku ka pake kacami.  Tidak seperti dulu kodong (Alhamdulillah, orang-orang sudah bisa melihat kue putu saya sejak memakai kotak kaca ini=red)”, tuturnya khas dengan dialek Makassar. Iya, efek dari tempat kue putu cangkiri yang terbuat dari kaca, lebih memberi kesan bersih pada kue ini.  Dan aroma daun pandan semakin mengundang selera pembeli, meskipun tempat dan alat-alat lainnya yang dipakai masih sangat tradisional.  Kesederhanaan sebuah kue kampung terasa.
Meski tradisional dan hanya menjadi ‘teman’ secangkir teh atau kopi di senja hari, ibu Sumiati tetap optimis menjalankan usaha ini.  “Untuk mencari kue ini, orang-orang harus ke Gowa dulu baru bisa mendapatkannya. Jaraknya yang jauh, bisa saja mereka mengurungkan niat dan tidak jadi membeli.  Saya mencoba memperpendek jarak itu dengan menjualnya di jalan AP. Pettarani, meski sederhana seperti ini. Kemampuan saya hanya sampai begini saja. Belum punya cukup modal.  Mudah-mudahan ada yang mau membantu”, harapnya. 
Anda bisa mencoba kue putu cangkiri ini.  Siapa tahu, memakannya, ditemani secangkir teh atau kopi di sore ataupun di pertengahan malam, bisa melahirkan ide dan inspirasi bagi kesuksesan pekerjaan Anda dan orang lain (maybe).  Siapa tahu?  @n