
Agama Islam sudah tidak asing dalam kamus kehidupan Reni. Karena, banyak dari saudara ibunya yang masuk Islam, dengan alasan ‘ikut’ suami yang kebetulan muslim
Agar hidup dapat berjalan sesuai koridorNya, maka memiliki dan memegang teguh sebuah prinsip adalah sikap yang seharusnya. Karena prinsip itulah, yang membuat hidup bisa berjalan dan semakin terarah. Begitupun keyakinan. Akan keberadaan Sang Pencipta adalah sebuah hal yang mutlak. Tapi kepada hambaNya, sesama manusia, ini yang sulit. Membutuhkan proses dan waktu yang cukup lama.
Keraguan ini yang di alami oleh Cicilia Reni Lestari Rahayu (28 tahun), saat ingin memantapkan hati memeluk Islam, di tengah didikan keluarga Khatolik yang taat. Lingkungan yang turut mendukung (teman-teman dan sekolah), membuat dirinya sempat ‘maju-mundur’ untuk menerima Islam seutuhnya. Namun, setelah prinsip yang dicarinya telah teruji pada seorang lelaki, serta merta, dengan senang hati dan segenap jiwa, dirinya melebur dalam dekapan Islam yang penuh kedamaian.
Keluarga Khatolik yang Taat
Agama Islam sudah tidak asing dalam kamus kehidupan Reni, sapaan akrabnya. Karena, banyak dari saudara ibunya yang masuk Islam, dengan alasan ‘ikut’ suami yang kebetulan muslim. Tapi kedua orang tua, khususnya sang ayah, sangat menerapkan disiplin ketaatan bagi anak-anaknya, terutama dalam hal beribadah. Jadilah Reni kecil menjadi anak yang patuh pada orang tua. Setiap Minggu, tak pernah absen ke Gereja untuk mengikuti sekolah Minggu dan kebaktian. Keseriusan sang ayah dalam menjaga keimanan anaknya ini, semakin ditunjukkan dengan memasukkannya ke sekolah Khatolik. Walhasil, rumah dan sekolah, menjadi dua lingkungan yang selalu melingkari keyakinannya akan Tuhan.
Meski telah dijaga ketat oleh dua lingkungan Khatolik yang cukup ketat, bukan berarti Reni membatasi pergaulannya dengan orang lain, khususnya umat Islam. Ia tetap membuka lebar peluang untuk bisa berteman dengan siapa saja. Baginya, ilmu itu bisa diperoleh dari siapa saja. Termasuk dengan Zainudin Kumara, salah seorang guru yang mengajarkan tentang komputer di sekolahnya, dan kebetulan Muslim, saat ia dan ibu tercinta pindah ke Sidoarjo, Jawa Timur.
Berdebat dengan Guru
Ia mengenal Pak Zain, sejak duduk di Sekolah Menengah Pertama. Seorang guru yang sangat perhatian pada murid-muridnya. Dengan sabar membimbing agar tak ada murid yang tak pandai dengan computer. Karena kedekatannya dengan murid-muridnya, termasuk Reni, maka tak jarang terjadi dialog bahkan debat diantara mereka tentang agama masing-masing. “Misalnya, Pak Zain bertanya tentang konsep trinitas dalam Kristen, ya saya jawab semampu saya. Terus, saya juga bertanya tentang shalat. Seperti ‘Kenapa perempuan, jika datang bulan, ia tak boleh shalat alias libur?, “ ungkap ibu satu putri ini mencontohkan.
Dialog dan debat terus saja terjadi. Bukan untuk mencari siapa yang salah atau benar, tapi untuk saling menguatkan keyakinan masing-masing. Aktivitas ini tak terhenti, meski Reni telah menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama. Saat ia resmi menyandang status sebagai anak SMU, diskusi dengan Pak Zain pun terus berlanjut.
Kurang lebih sembilan tahun, ia mencari keyakinan sejati. Dialog dan debat yang terus berlangsung, selalu menyisakan tanya dan tanya tentang kebenaran agama yang dianutnya sejak kecil. Seakan terjadi perang dalam batinnya. Ingin rasanya meninggalkan keyakinan lamanya, bentukan dari orang tua, tapi ketakutan dan kekhawatiran terlalu kuat merajainya.
Kondisi keluarganya pun dirasakan tidak mendukung setelah ayah ibunya resmi bercerai. Sang ayah memilih tetap tinggal di Yogyakarta, sementara ia dan ibu serta adiknya memilih pindah ke Surabaya, tinggal di rumah nenek. Ia pun sangat-sangat menyayangi dan mengidolakan sosok sang ayah. “Beliau teladan saya selama ini. Terutama dalam hal bakti kepada kedua orang tua. Ayah saya seorang Bapak sekaligus anak yang penuh bakti pada orang tua. Dan, saya sebagai anak sulung, sangat ingin seperti beliau, “ceritanya dalam. Sehingga, meskipun ia jauh dari ayah tercinta, perasaan berdosa jika kelak meninggalkan agama yang selama ini dianutnya sangat terasa. Ia tak ingin jadi anak yang durhaka.
Ibu Menikah Lagi
Pikiran dan hatinya sedikit terbuka, saat ibunya menikah lagi. “Dan ibu saya masuk Islam karena menikah dengan lelaki Muslim, “ tutur Reni. Tapi, sang ibu, sekalipun tak pernah memaksa ia dan adiknya untuk pindah agama. “Kalian toh sudah pada dewasa. Udah besar. Biar kalian yang menentukan jalan hidup sendiri di masa depan, “ katanya meniru ucapan sang ibu bijak. Di sarankan seperti itu oleh ibu tercinta, Reni semakin memikirkan sang ayah, nun jauh di Yogya sana. “Apa gerangan kata ayah jika suatu hari, aku benar-benar pindah agama, memeluk Islam, “ batinnya sedih.
Langkah ibunya dengan menikah lagi kemudian pindah ke agama suami barunya, belum bisa mempengaruhi keteguhannya untuk terus menetapi agamanya, Khatolik. Begitupun adik semata wayangnya. Sampai suatu hari, seorang lelaki yang selama ini dikenalnya dan sering mengisi hari-harinya mengutarakan niat untuk mengajaknya menikah. Lelaki yang sangat dihormatinya dan sering mengayomi dengan sabar setiap uneg-unegnya. Dia adalah Pak Zain, guru computernya saat SMP.
Boleh dikata, Pak Zain ini adalah tipe lelaki yang sabar dan sangat taat menjalankan keyakinan Islamnya. Jika waktu shalat telah tiba, kegiatan apapun yang saat itu dilakukan, pasti segera ditinggalkannya. Begitupun saat bulan Ramadhan tiba. Tak seharipun ia menghubungi Reni, telpon ataupun sms, hingga genap tigapuluh hari, tepat Ramadhan usai. Ia salut. Sangat salut. Dan, berulang kali Reni melakukan kesalahan yang sejatinya melukai perasaan Pak Zain sebagai seorang lelaki, kata maaf selalu diberikannya. Kesabaran dan kegigihannya inilah, yang akhirnya, lambat laun meluluhkan hatinya, dan perlahan mengikis keimanan Khatoliknya.
Takut Murka Sang Ayah
Hatinya telah mantap menerima ajakan Pak Zain untuk menikah. Tapi, disatu sisi batinnya ketakutan, bagaimana ia harus mengutarakan inginnya untuk berpindah agama menjadi Muslim, kepada sang ayah di Yogya, agar ia bisa segera menikah dengan lelaki pilihannya. Akhirnya, dengan tekad bulat dan ‘nekad’, ia dan Pak Zain berangkat ke Yogya menemui sang ayah, guna meminta restu.
Mungkin telah menjadi suratan dari Yang Kuasa, bahwa tak ada aral yang besar merintangi niat baik mereka. Setelah dua kali bolak-balik menghadap sang ayah, akhirnya restupun di dapatkan. Dan ditemani calon suami, Reni mengikrarkan syahadat sebagai bukti ke-Muslim-annya di masjid Al-Falah Surabaya pada tahun 2002 silam.
Setahun ia memeluk Islam di bawah bimbingan calon suami, Juli 2003, ia resmi melepaskan status lajangnya. Ia menikah dengan Zainudin Kumara, lelaki yang selama ini selalu berdebat dengannya tentang agama. Rasa senang dan bahagia tak terkira. Dan sebuah keyakinan dihati, bahwa insyaAllah, ia tak salah pilih. Reni yakin, Pak Zain, mantan gurunya yang kini telah jadi suaminya, belahan jiwanya, mampu membimbingnya dengan baik, dalam naungan Islam sebagai keyakinan barunya.
Saat ini, meski masih menempati sebuah rumah kontrakan sederhana di jalan A. Yani No. 2 Kel. Medaeng Kec. Wari Sidoarjo, ia merasa tenang. Seorang putri cantik, Salsabila Resa Putri (4th) telah hadir sebagai buah cinta mereka. Adik semata wayangnya pun telah memilih menjadi Muslim. Belajar tentang syariat Islam masih terus dilakukannya. Pelan-pelan, namun pasti. Seperti belajar membaca Al Qur’an di sekolah anaknya setiap hari, atas bimbingan salah seorang guru di TK sang anak. “Saya harus belajar dan harus pinter. Suatu hari anak saya bertanya dan minta diajarin, kan malu tuh kalo saya sendiri tidak tahu, “ tangkisnya sambil tersenyum. @n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar