Rabu, 03 Desember 2008

Berdakwah di Kawasan Merah

Image yang terbangun dalam benak mereka tentang masjid adalah tempat yang suci, sacral.
 Sementara diri mereka kotor

Siapa yang tak mengenal Jarak dan Doli di kota Pahlawan Surabaya.  Dua daerah merah ini, ditengarai sebagai daerah prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Setiap saat ramai dikunjungi oleh para peminat kesenangan duniawi. Dari warga kota Surabaya sendiri dan sekitarnya, hingga luar kota. 
Beraneka ragam model baju terpampang di etalase toko. Mulai dari yang sopan hingga terbuka. Sekilas seperti kompleks pasar atau pertokoan biasa, namun siapa yang menyangka, di ujung sore, menjelang Maghrib, bukan hanya aneka model baju yang terpampang di etalase.  Kita pun bisa menjumpai, berbagai model wanita (asli) yang bisa tertangkap indra dengan jelas dibalik kaca rumah-rumah bordil yang berderet rapat. Mengenakan baju seadanya sambil menebar senyum manis menggoda. 
Tak sedikit warga yang resah dengan keberadaan daerah merah ini di sekitar pemukiman mereka, Jl Putat Jaya.  Berbagai upaya dilakukan untuk mengobati penyakit masyarakat yang sangat berbahaya ini. Mulai dari dakwah keliling didaerah tinggal para mucikari, hingga pembukaan TPA-TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an) bagi anak-anak mereka. Satu diantara segelintir warga yang peduli pada kondisi ini adalah Ustadz  H. Nu’man.  Beliau adalah warga asli Putat Jaya III A No. 30. Lahir dan besar di lingkungan ‘esek-esek’, membuatnya prihatin akan nasib anak-anak dan perkembangan moralitas mereka kelak dikemudian hari.

Meneruskan Jejak Abah

“Sejak tahun berapa Abah konsen dengan kondisi masyarakat di daerah Jarak ini, saya lupa.  Karena waktu itu saya masih kecil”, tutur H. Nu’man mengawal cerita.  “Yang saya ingat betul, Abah saya itu benar-benar seorang pejuang. Dan menancapkan perjuangannya itu di hati semua anak-anaknya”, lanjutnya.  “Hasilnya, sebuah masjid di dirikan di daerah ini, dengan tujuan meminimalisir aktivitas asusila mereka, minimal di waktu-waktu shalat atau bulan Ramadhan seperti ini”, tambahnya.
Beliau menuturkan, sejak masjid tersebut dibangun, aktivitas negative di sekitarnya cenderung menurun. Bahkan, satu gang yang tak jauh dari masjid, Alhamdulillah telah bersih dari aktivitas tersebut. 
Hanya, awal berdirinya tantangannya sangat berat. Tak jarang kotoran manusia memenuhi halaman dan tembok masjid.  “Iya, ulah dari warga yang tidak suka dengan keberadaan masjid tersebut yang dirasa mengganggu mata pencaharian mereka”, terang H. Nu’man.
Perjuangan sang Abah yang menjadi penggerak dakwahnya selama belasan tahun ini.  “Saya merasa bertanggung jawab untuk merubah lingkungan ini. Tapi, Subhanallah, tantangannya luar biasa. Bukan dari keluarga saya, tapi dari warga sendiri. Dianggap sok suci-lah, cari muka-lah, dan macem-macem. Tapi saya yakin, selama yang saya lakukan tidak bertentangan dengan perintah Allah, saya nggak akan pernah takut.  Bukankah telah ada perintah bahwa barangsiapa yang melihat sebuah kemungkaran, maka diwajibkan untuk mencegah.  Kalau tidak bisa dengan tangan (perbuatan), maka lakukan dengan lisan. Dengan lisan juga tak bisa, maka ingkarilah dengan hati, tapi itulah selemah-lemah iman.”, pungkasnya. 

Mendirikan TPA

Harta miliknya yang tak seberapa, modal dari profesinya sebagai salah seorang staf pengajar di UIN Sunan Ampel Surabaya dan sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Agama di Gresik, memberanikan dirinya untuk berbuat bagi masyarakat Jarak.  Dengan support  dari para donatur dan segenap pemuda kampung yang urun peduli,  ia mendirikan Taman Pendidikan Al Qur’an Jawwarotul Hikmah dibawah bendera yayasannya Darul Aithom sekitar tahun 1991 – 1992 silam.  Sasaran utama pendirian TPA tersebut adalah warga miskin dhu’afa, plus anak-anak dari para mucikari yang bertebaran di RW tempat tinggalnya.
“Dhu’afa itu berasal dari kata dho’if, yang artinya lemah. Menurut saya, lemah itu ada dua, lemah iman dan lemah financial. Para mucikari ini termasuk ke dalam lemah iman. Nah, pendekatan yang saya lakukan adalah lewat anak-anak. Terkadang, ada yang mengantarkan anaknya ke TPA dengan pakaian yang sangat minim, setelah itu kembali beroperasi. Namun, lama-kelamaan mereka sepertinya risih, hingga akhirnya memakai pakaian yang lebih sopan”, jelasnya.
Image yang terbangun dalam benak mereka tentang masjid adalah tempat yang suci, sacral. Sementara diri mereka kotor.  Anggapan inilah yang melandasi H. Nu’man untuk mendirikan TPA, bukan di masjid melainkan di yayasan miliknya.  “Biar mereka tidak sungkan untuk datang dan masuk, juga ikut dalam setiap program wali santri seperti pengajian dan shalawatan”, tandas pak Haji.  Iming-iming pun terkadang terlontar saat perekrutan anggota jamaah shalawat . “Saya bilang ke mereka, jika ibu-ibu rajin ikut shalawatan, maka insyaAllah rezekinya lancer. Alhamdulillah, sejak program pengajian Al Qur’an, Kitab Kuning dan Shalawatan ini digelar di bulan Februari lalu, sudah puluhan mucikari yang selalu ikutan”, terang warga Nahdliyyin ini sambil tersenyum.

Obsesi Mendirikan Pondok

“Saya selalu menekankan kepada teman-teman di TPA, bahwa berjuang di daerah merah seperti ini tidaklah mudah. Terkadang ada oknum yang memanfaatkan keikhlasan para ustadzah, belum lagi gerakan Missionaris yang semakin gencar.  Kita harus istiqomah, semata-mata mengharap ridho dari Allah. Semoga ini menjadi amal jariah yang akan mengantarkan kita ke syurga kelak”, tukas suami dari Muqoddasati ini.
Lelaki jebolan S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini punya obsesi untuk mendirikan pondok pesantren di daerah Jarak. Khusus bagi dhu’afa miskin dan anak-anak para mucikari. “Malamnya mereka bisa mondok di sini, paginya mereka bisa belajar di yayasan. Semua gratis. “, urainya mantap.  Disamping itu, ia menghimbau kepada pihak-pihak yang memiliki akses ke pendidikan dan ketrampilan untuk bekerjasama mengentaskan kelemahan iman dari para mucikari.  “Mereka sejatinya ingin keluar dari pekerjaan maksiat ini. Tapi, mereka butuh keterampilan untuk sebuah pekerjaan baru. Misalnya menjahit, atau penata rias di salon untuk mengatasi kelemahan financial mereka. Tapi, perhatian pemerintah dan pihak terkait lainnya masih sangat minim”, ucap lelaki kelahiran Surabaya, 22 Februari 1969 ini.
Semangatnya untuk terus mengentaskan kelemahan iman para warga di daerah Jarak ini terus berkobar.  Atas dukungan penuh sang istri tercinta dan segenap donatur, ia berharap, pondok pesantren gratis  untuk dhu’afa miskin ini segera terwujud.  Hanya kepada Allah, bapak H. Nu’man senantiasa mengembalikan segala  urusan.  @n

1 komentar:

  1. "putu cangliri" kembali terngiang di telingaku, mengungkit alam bawah sadarku tentang masa yang tak kenal nestapa, kecuali canda, tawa yg penuh suka. Kala itu makassar masih kumuh tapi hidup penuh warna untuk menggapai cita. Ternyata putu cangkir tetap eksis saat makassar telah metropolis. Semoga ibu itu tetap jaya. Dan penulisnyapun Tetap sukses.

    BalasHapus