Rabu, 03 Desember 2008

Kerajinan Ukir Cantik 'MATTO'

Sebuah rumah di kawasan Dieng Malang pernah menjadi kanvasnya dalam berkarya. Orisinil dari ide dan bakatnya yang telah ada sejak kecil

Bukan hanya kota Jepara  Jawa Tengah yang terkenal dengan ukiran kayunya nan menarik dan khas. Di Jawa Timur pun bisa kita jumpai. Tepatnya di Turen Malang. Seorang pemuda lulusan pesantren di Sepanjang Gondanglegi, sejak tahun 1996 menekuninya hingga saat ini. Sempat kuliah di Fakultas Tarbiyah Salahuddin Al Ayyubi juga, namun karena keterbatasan biaya, ia tidak meneruskan. Ahmad Maftukhin namanya.  Putra salah seorang Kyai yang cukup ternama di daerahnya.
Memasuki ruang kerjanya yang sederhana, tampak berbagai macam alat ukir yang senantiasa dipakainya. Ada caweng (penguku), palu, penilap, kol, coret (untuk membatik), dan buluk. Tak ketinggalan kertas karton yang dipakainya untuk menggambar atau mendesain pola ukir. Setiap hari, sepulang kerja sebagai tenaga kontrak di PT Pindad, ia melakukan rutinitas seninya ini. “Meski bekerja, saya tetap fokus mengerjakan kerajinan ukir. Saya sudah terlanjur cinta dengan pekerjaan seni. Lagian, saya cuma tenaga kontrak di Pindad. Lha kalau saya nanti dipecat atau tidak bekerja lagi, anak dan istri saya makan apa?”, pungkasnya, kemudian menawari Muzakki air mineral pelepas dahaga di siang yang cukup terik.

Modal Awal dari Saudara

“Saat ‘nyantri’ di pesantren Sepanjang Gondanglegi, banyak temen saya yang asalnya dari Jepara. Dari merekalah saya mengenal kerajinan ukir. Saya mulai belajar karena saya berpikir, setelah lulus nanti, akan kerja apa? Nah, kebetulan bakat seni sudah saya miliki sejak kecil, sehingga untuk belajar mengukir bukanlah hal yang sulit”, tutur lelaki tigapuluh dua tahun ini mengawal cerita.
 Keinginannya untuk belajar mengukir semakin bulat saat melihat sebuah sangkar burung yang terbuat dari kayu, dipenuhi oleh ukiran. Sangat indah. Ia kemudian menyampaikan hasratnya pada teman-temannya asal Jepara.  Oleh mereka, disarankan untuk langsung belajar ke sumbernya di Jawa Tengah sana, agar bisa lebih optimal dan profesional.  “Alhamdulillah, niat saya ini disambut baik oleh orangtua. Bapak dan ibu merestui. Akhirnya, saya berangkat ke Jepara, khusus belajar mengukir selama enam bulan”, terangnya.
Sepulang dari belajar di Jepara, harusnya sertifikat bisa diperoleh. Syaratnya harus punya karya.  Tapi, karena orang tuanya mengharuskan segera pulang, sertifikat pun tidak diperoleh. Akhirnya, ilmu yang diperolehnya di sana, diaplikasikan di rumah. Di dukung oleh alat-alat ukir yang didapatnya dari belajar di Jepara, istri dari Wiwik Fauziah ini membuat karya. Di awali dengan modal dari kakaknya senilai Rp 2.500, tahun 1997. Uang yang sedikit itu kemudian digunakan membeli bahan untuk sebuah sangkar burung.  “Alhamdulillah. Sangkar burung sebagai karya perdana saya jadi. Dan ndak nyangka bisa laku ditawar orang senilai Rp 75. 000.”, ceritanya senang.  Nilai ukiran yang ada di sangkar burung itulah yang disukai orang. Akhirnya, Ahmad menjadi lebih termotivasi untuk menghasilkan karya-karya baru yang lebih bagus dan tentunya orisinil. Ia fokus membuat ukiran di sangkar burung selama kurang lebih empat tahun. Dari ukuran kecil hingga besar bermotif asmat. 

Melayani Jasa Ukir

Untuk mengukir, pasti dibutuhkan wadah. Ahmad memilih kayu jati sebagai kanvasnya. Meski harganya lumayan mahal, tapi dari sisi kualitas, hasil ukiran akan terlihat lebih bagus. Pada umumnya, pemesan ukiran telah menyiapkan bahan, sehingga Ahmad hanya dihargai dalam hal jasa ukir.  
Ia pun pernah menjalin kerjasama dengan sebuah perusahaan kontraktor. Semua bahan didrop kepada Ahmad untuk diukir sesuai permintaan, setelah selesai menurut waktu yang disepakati, iapun kembali mengirimkan bahan-bahan tersebut ke perusahaan yang bersangkutan. “Tiap pemesan keinginannya berbeda-beda. Ada yang pesan langsung jadi. Maksudnya, bahan dan ukiran terserah saya. Ada juga mereka menyiapkan bahan dan desain, saya tinggal mengerjakannya. Dan, ada yang bahannya dari mereka, desainnya dari saya. Semua terserah konsumen. Saya tinggal membantu mengerjakan dan menuntaskan keinginan mereka”, terangnya.  
Beberapa hasil karyanya dapat ditemui dikediaman orang tuanya. Ada hiasan dinding bertuliskan kaligrafi, adapula gambar bunga teratai, lemari (rak) buku, meja oshin, dampar, hiasan pintu, gantungan vas duduk, dan lain-lain. “Alhamdulillah, banyak teman-teman saya yang dari Jepara malah belajar ke saya. Padahal, tadinya saya yang belajar ke daerah mereka”, urainya sambil tertawa.

Punya Ciri Khas

Bukan hanya lagu, pakaian, atau dialek khas yang pasti dimiliki oleh setiap daerah. Dalam hal seni ukir pun, ini mesti ada.  Jika ada yang bermotif burung merak, atau bermain diwarna, maka Ahmad memakai motif teratai untuk setiap ukirannya pada perabot meubel atau interior rumah. Misalnya untuk pemesanan angin-anginan (lubang angin yang ada dibagian atas pintu atau jendela) atau tempat tidur. Dibagian tertentu, dijumpai motif bunga teratai. “Saya ingin, jika orang lain melihat sebuah ukiran, maka dari motif yang ada mereka langsung tahu bahwa sayalah yang membuatnya”, tegasnya semangat. Keputusannya untuk berpindah ke ukiran meubel dan interior rumah dilatarbelakangi oleh permintaan konsumen. Menurutnya, upaya ini harus ditempuh agar bisa tetap eksis dan bersaing di dunia kerajinan ukir. Namun bukan berarti motif lama yang dipakainya terlupakan. “Tetap saya pertahankan. Semuanya tergantung order saja koq”, jelasnya. 
Satu hasil karyanya yang sangat fenomenal di tahun 2002-2003 lalu. Ia mendapatkan borongan dari seorang kaya di desanya yang memiliki rumah di kota Malang. Ahmad diminta untuk menuangkan idenya pada sebuah rumah baru dan besar berlokasi di Dieng. “Waktu itu, saya diajak si pemilik rumah berkeliling untuk melihat berbagai macam motif ukiran. Setelah itu, saya diminta untuk berkreasi di rumah Beliau. Awalnya saya bingung.  Tapi Alhamdulillah, akhirnya dapat ide. Jadilah rumah itu sebagai kanvas saya. Dibantu oleh empat orang kawan, dalam setahun rumah itu akhirnya selesai. “Lumayan, hasilnya bisa buat bengkel ukir sendiri di rumah, melengkapi peralatan yang kurang, dan membiayai kuliah saya setahun di Salahuddin Al Ayyubi”, akunya senang.  Satu yang disayangkannya, karena sampai saat ini, ia belum bisa mendokumentasikan karyanya tersebut sebagai hak paten. @n

Alamat Usaha :
Kerajinan Ukir “MATTO”
Owner : Ahmad Maftukhin
Jl Kauman I No. 2 Rt. 5 Rw. 2
Turen – Malang
Telp. 0341-8604856


Tidak ada komentar:

Posting Komentar