
Di tengah pailitnya ekonomi keluarga, ia masih bisa berpikir sehat untuk berbuat sesuatu.
Semua demi buah hati yang disayanginya
Hidup bersahaja, menjadi pilihan dari ibu Sumintarsih (47th) dan keluarga. Apa adanya, yang penting hari ini bisa makan. Tak pernah mengeluh dengan gaji kecil yang saban bulan diberikan oleh suaminya, seorang guru Matematika, yang mengabdikan diri di sebuah SMA Negeri di Gondanglegi Malang. Semua diterimanya dengan lapang dada, ikhlas. Ia sudah bersyukur, bisa menempati sebuah rumah kecil sebagai tempatnya berlindung beserta dua orang anaknya, dari terpaan panas dan hujan, meski masih dalam status kontrak. Seperti air yang mengalir. Tenang, namun pasti sampai ke muara.
Imbas Krismon
Tahun 1997, bangsa ini dilanda krisis moneter yang hebat. Guncangan ekonomi terasa di hampir seluruh lapisan masyarakat. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak naik, dan tidak diiringi oleh kenaikan gaji khususnya pegawai negeri. Banyak rakyat yang menderita kelaparan. Anarkis terjadi di mana-mana, demi memperebutkan sepiring nasi. Kondisi ini, dialami pula oleh ibu Sumintarsih dan keluarga.
Berharap dari gaji suaminya yang hanya pegawai negeri, tentulah tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jika sebelumnya, ia hanya melayani suami dan dua orang anaknya di rumah, setelah pailit tersebut menimpa, mau tak mau, ia berpikir keras untuk membantu ekonomi keluarga. Ia ingin, dua orang anaknya, Novan dan Ellen yang saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar, terus bersekolah. Ia tak ingin, karena benturan ekonomi, buah hatinya itu harus kandas dalam cita-cita. “Mereka anak-anak yang pinter, sayang banget kalau harus berhenti, “ ucap Bu Giarto, sapaan akrabnya.
Akhirnya, otaknya pun berputar cepat. “Saya bisa membuat kue dan macam jajanan. Masakan saya lumayan enak, kata anak-anak dan suami seh… ,” tuturnya sambil tertawa. “Nah, dengan modal Rp 75ribu, saya memutuskan untuk membuat kue, dan saya titipkan ke bakul yang lewat di perumahan ini”, lanjutnya. “Bismillah, semoga Allah memudahkan dan memberikan barokah pada usaha saya ini, “ harapnya di awal memulai usaha.
Sejak itu, tiap hari, jam setengah tiga pagi, ia telah bergegas bangun. Semua bahan disiapkan untuk membuat jajan yang menurutnya bakal diminati ibu-ibu dan warga di perumahan Puri Cempaka Putih II Malang ini. Ia fokus untuk membuat donat, dan weci (bakwan). Untuk donat, agar lebih bervariasi, dibuatnya dalam tiga bentuk, donat sate (kue donatnya ditusuk pake tusuk sate), donat isi, dan donat bertabur cokelat dan kacang. “Alhamdulillah, jajanan yang saya titipkan pada bakul yang melayani masyarakat di perumahan, selalu ludes. Banyak yang suka, “ ceritanya senang.
Melihat usaha sang istri membantu ekonomi keluarga menuai sukses, pak Giarto tak tinggal diam. Ia lalu mengajak kedua anaknya untuk membantu sang ibu. Kadang membantu membuat adonan, membungkusi atau menggoreng. Di saat orang-orang masih tertidur pulas terbuai mimpi, pagi-pagi buta, satu keluarga tersebut telah memulai aktivitas dengan penuh semangat. Tak ada yang berkeluh. Semuanya satu, merasa senang bisa ikut andil membantu ekonomi keluarga.
Bantuan Pinjaman Lunak
Roda kehidupan terus berputar. Begitupun dengan usaha jajanan Bu Giarto. Selama sepuluh tahunan bergelut di dunia ‘perjajanan’, dirasakan sangat membantu ekonomi keluarga. Jenis jajanan pun telah bertambah dan semakin berkembang. Jika di awal, baru bisa membuat dua jenis kue, donat dan weci, maka saat ini telah meningkat menjadi beberapa jenis jajan bahkan lauk-pauk. “Donat dan weci masih tetep banyak peminatnya. Saya nambah bikin lemper, roti kukus, dan pisang goreng. Dan kadang-kadang jika sempat, saya juga bikin lauk-pauk. Ya botok, brengkes, macem-macem, “ terangnya. “Alhamdulillah, bukan hanya saya titipkan ke bakul yang lewat, tapi j uga di rumah. Banyak juga tetangga yang langsung beli ke rumah lho.”
Serasa gayung bersambut, ia lalu ditawari bantuan pinjaman lunak dari sebuah lembaga zakat besar di kota Malang. Tanpa bunga. Berawal dari keaktifan anak sulungnya Novan beribadah di masjid al-Basyiroh, sebuah masjid yang ada di kompleks perumahan Puri Cempaka Puri II. Melihat konsistensi sang anak ke masjid setiap waktu, maka dari pihak lembaga zakat tersebut menunjuknya untuk menjadi relawan, perpanjangan tangan dari lembaga untuk menunjuk masyarakat yang ada di perumahan, mereka yang butuh modal untuk berusaha. Juga, bagi yang telah punya usaha, dan butuh tambahan modal untuk mengembangkan usahanya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bu Giarto. Ditambah oleh pernyataan sang anak, yang membuatnya semakin mantap. ‘Bu, ini uang barokah. Dana ZIS dari masyarakat. Murni bantuan pinjaman tanpa bunga. Jadi, tak ada riba di sini. Semua halal, insyaAllah’.
Akhirnya, ia pun menyambut baik bantuan itu. Dijadikannya sebagai tambahan modal buat usaha jajanannya. “Alhamdulillah, sekarang saya bisa menitipkan jajanan saya ke tiga bakul yang sering lewat di perumahan ini. Subhanallah, benar-benar barokah, “ ucapnya senang.
Berkah dari Allah
Barokah yang sangat besar selalu dirasakannya saat bulan Ramadhan tiba. Banyak masyarakat yang pesan untuk takjil, dan buka puasa di rumah-rumah. Bahkan tak jarang, banyak yang pesen nasi kotak juga, hingga dirasanya kewalahan. “Syukurnya, Bapak dan anak-anak selalu membantu. Jadi kewalahannya masih bisa diatasi, hehe…, “ terangnya sambil tersenyum.
Meski keuangan keluarga belum sepenuhnya bisa teratasi, ia tetap bersyukur. “Masa sekarang tak sesulit dulu lagi. Alhamdulillah. Anak-anak juga ikut meringankan beban kami selaku orang tua. Si Novan, udah dapat gaji sebagai relawan dari lembaga zakat itu, dan ngasih privat ngaji ke anak-anak kompleks. Bahkan sudah bisa beli motor sendiri, meski bekas. Setiap hari di pake ke kampus dan ngaji Qur’an dan Kitab ke Kyai-Kyai. Adiknya, si Ellen, juga tak mau kalah. Ia juga ngasih privat mata ajaran umum ke anak SMP dan SD yang tinggal di kompleks ini. Mereka semua pinter-pinter. Mungkin turunan dari Bapaknya kali…, “ ucapnya lagi sambil tertawa senang.
Jika kita mau berusaha, insyaAllah diberi jalan oleh Allah. Begitulah keyakinan ibu Sumintarsih. Di tengah pailitnya ekonomi keluarga, ia masih bisa berpikir sehat untuk berbuat sesuatu. Bukan malah memprotes dan menyalahkan suami yang hanya bisa memberinya uang belanja secukupnya. Ia tetap berlapang dada dan ikhlas menerima pengorbanan suami tercinta, yang telah berupaya keras memenuhi tanggung jawab, menafkahi keluarga. Yang ada dibenaknya, adalah ‘saya harus berbuat sesuatu’, demi nasib buah hati yang sama dicintainya.
Ia pun telah diberikan barokah anak saleh oleh Allah SWT. “Saya dulu seorang Nasrani. Bertemu Bapak, kemudian berIslam di KUA. Mungkin karena kesibukan, Bapak tidak sempat membimbing ke-Islam-an saya. Akhirnya, saya cari tahu sendiri. Dengan aktif mengikuti pengajian, dan Yasinan beberapa kali seminggu. Yang menjadi motivasi saya adalah anak saya sendiri, si Novan. Saya sangat kagum sekaligus malu. Karena di usianya yang masih muda, ia begitu rajin ke masjid, mengaji kitab ke Kyai-Kyai dan sholat malam. Subhanallah. Ini anugerah terbesar dari Allah bagi saya. Bukan hanya rajin beribadah, di kampus ia termasuk anak berprestasi, pun adiknya si Ellen, “ ungkapnya sambil terus mengucap syukur. “Saya punya impian. Melihat profesi Bapak sebagai guru, dan anak-anak yang setiap hari memberikan les privat, sementara rumah kami ini sangat sempit. Saya ingin, suatu hari, jika rumah ini lunas (blok BG. 16), di sebelah timurnya bisa dibangun ruangan, seperti kelas, khusus buat ngajar privat. Saya terkadang kasihan melihat anak-anak privatnya Ellen yang harus menggelosor di lantai ruang tamu ini saat belajar. Berdesakan pula. Terus, saya juga ingin, sangat ingin, punya toko atau warung kecil untuk menjajakan kue-kue saya setiap hari. Jadi, selain nitip ke bakul-bakul, saya juga bisa melayani pembeli di rumah dengan baik. Ada toko kue yang sederhana tapi bersih, “ ungkapnya sambil mengamini mimpinya. Pak Giarto yang duduk di sebelahnya, ikut mengangguk takzim. Amin, amin, amin. @n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar