Rabu, 03 Desember 2008

Tak Menyerah


Sepasang kruk penyangga dikedua ketiaknya setia menemani harinya mengais rezeki sebagai tukang tambal ban di sudut jalan Karang Menjangan Surabaya.  Panas yang menerpa wajahnya yang telah renta termakan usia, terlindung dibalik sebuah caping yang juga telah usang tergerus waktu. 

Langkahnya tertatih menjemput rezeki yang mampir karena anugerah Sang Pemberi.  
Begitulah sosok seorang bapak tua bernama Taman (78 tahun), yang sehari-hari duduk menyangga badannya yang lemah di atas trotoar jalan ditemani sebuah kompresor tua menunggui pemilik kendaraan yang sudi menambali ban mereka yang bocor tertusuk paku-paku jalanan.

Berawal dari Gigitan Seekor Ular Berbisa

"Saya dulu seorang petani di Pujon Malang", tuturnya mengawali cerita hidupnya.  Seperti petani pada umunya, saya memiliki seekor sapi penggarap yang setiap hari harus diberi makan rumput.  Hingga pada suatu hari, ketika mencari rumput di tempat biasa, rutinitas saya tersebut terhenti karena gigitan seekor ular berbisa pada jari tengah kaki kanan saya.  
Hanya pekikan ringan yang terdengar dari mulutnya ketika itu, demi menahan rasa sakit yang perlahan merambat mengikuti aliran darahnya sembari mencoba mencari obat akibat gigitan ular tersebut.  Dan siapa yang menyangka, akibat dari gigitan ular tersebutlah yang mengawali kehidupan pak Taman hingga usianya kini mendekati senja.  
Gigitan ular berbisa tersebut menyebabkan jari tengah kaki kanannya dalam beberapa har menjadi hitam.  Dan bukan hanya itu, rasa sakit yang sangat,  menjalar hingga ke paha semakin menjadi dan akhirnya mengganggu aktivitasnya bertani, hingga ia mencoba beralih profesi menjadi kuli bangunan demi menghidupi seorang istri dan sepuluh orang anaknya yang masih kecil.  Namun apa daya, karena keterbatasan ekonomi, pak Taman hanya bisa berusaha sekuat  tenaga menahan dan menafikan segenap rasa sakit yang menguasai kakinya selama tiga puluh dua tahun.  Aktivitasnya sehari-hari tetap dijalaninya dengan tabah tanpa keluh kesah demi keberlangsungan hidup keluarga yang dicintainya. 
Pak Taman yang kuat dan tabah, ternyata masih seorang manusia yang lemah.  Di usianya yang telah separuh abad, ia sudah tak mampu lagi menahan rasa sakit yang terpendam sekian lama.  Atas dukungan moril dan materil anak-anaknya, ia mencoba memeriksakan sakitnya ke sebuah rumah sakit di Surabaya.  Setelah menjalani beberapa test dan rontgen, dokter memvonisnya untuk segera meng-amputasi kaki kanannya karena menurutnya akan sangat berbahaya bagi diri pak Taman.  Tanpa berpikir panjang, pak Taman segera menjalani operasi pemotongan kaki kanannya dengan menyerahkan sepenuhnya pada Allah kehidupannya kelak yang telah bisa dibayangkannya hanya bisa dijalaninya satu kaki.  "Saya pasrah, ikhlas.  Meski suatu hari, beberapa lama setelah kaki saya diamputasi, saya tahu kalau pemeriksaan dokter tersebut keliru, setelah dokter lain menemukan penyakit di perut saya dan mengharuskan saya kembali menjalani operasi", urainya sedih namun tetap terlihat tenang. 

Berjuang Hidup dengan Satu Kaki

Tak mudah menjalani hari hanya dengan disanggah satu kaki.  Tapi, keniscayaan itu dibuktikan oleh pak Taman dengan membuka layanan tambal ban hanya dengan bermodalkan sebuah kompresor  tua pemberian anaknya.  Setiap pagi, dengan bantuan orang-orang yang tinggal di sekitar tempat usahanya  di Karang Menjangan, ia menarik kompresor tuanya ke sudut jalan.  "Saya sudah tua, gak kuat lagi kalau menarik kompresor ini, ya jadi minta tolong sama orang-orang di sekitar sini", candanya sambil membenahi kruknya. 
"Setiap orang yang hidup pasti akan mati.  Dan sebelum mati, ujian dan musibah pasti akan datang menghinggapi", tutur pak Taman bijak.  Iya.  Tak ada yang bisa menghindar jika Allah SWT telah menakdirkan sesuatu terjadi pada hamba-Nya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar