Rabu, 03 Desember 2008

Putu Cangkiri Gowata



Warnanya cokelat, ada juga yang putih. Bentuknya bundar diisi parutan kelapa, rasanya agak manis

Putu Cangkiri Gowata namanya. Sangat enak jika ditemani oleh secangkir teh di sore hari, sambil menunggu matahari terbenam di ufuk barat. Kue khas masyarakat kabupaten Gowa Sulawesi Selatan ini bisa Anda jumpai di sepanjang jalan lintas propinsi dari kota Makassar menuju kabupaten Gowa dan sekitarnya.  Berjejer rapi dengan nomor kios yang berbeda, menjajakan aneka macam makanan dan minuman, khas masyarakat kabupaten tersebut. 
Tapi, jika Anda jalan-jalan di waktu sore menjelang maghrib, dan kebetulan melewati jalan AP. Pettarani, tidak jauh dari gedung Telkomsel Pengayoman, maka Anda akan melihat kue ini. Seorang ibu bernama Sumiati menjual kue putu cangkiri ini dengan plang kecil di atas kotak kacanya tertulis “Putu Cangkiri Gowata”. Sosoknya sangat biasa. Se-biasa kotak kaca tempat putu cangkiri-nya diletakkan, yang setia menemani dalam 5 tahun perjalanannya. 
Suaminya Syarifuddin selalu mendampingi.  Mulai dari menyiapkan bahan-bahan putu, hingga melayani pembeli.  Dari jam 5 sore hingga menuju pergantian hari, sekitar jam 00.00 wita, tak pernah berkesah.  Meski esok, ia harus pagi-pagi berangkat ke sawah, menggarap tanah milik orang sebagaimana petani-petani yang ada di desanya. 
Sumiati adalah perempuan desa yang sederhana.  Namun dalam kesederhanaannya, ia terlihat sedikit berbeda dengan ibu-ibu rumah tangga lain di desanya, Bonto Kaddo Pepe, Poros Limbung, kabupaten Gowa.  Jika setelah menikah, mereka harus membantu suami menggarap sawah setiap pagi, maka ia lebih memilih berjualan kue putu cangkiri.  Dan tak ayal, tempatnya cukup jauh dari desa tempatnya tumbuh dan beranak- pinak, di kota Makassar.  

Mengikuti Jejak Kakak

Keterampilan membuat kue ini sudah didapatkannya secara alamiah.  Dari orang tua yang hampir setiap hari membuat namun hanya untuk konsumsi keluarga, dan juga dari sang kakak yang kebetulan menjualnya ke tetangga sebagai ‘pencuci mulut’ di senja hari, ditemani secangkir teh atau kopi manis.  Dan mungkin karena kebiasaan inilah, maka kue putu ini dikenal dengan sebutan putu cangkiri.  Karena tak lengkap rasanya jika tidak ditemani oleh secangkir teh atau kopi tadi. 
Berawal dari seringnya membantu kakak menjual kue ini.  Hingga suatu hari di tahun 2003 silam,  ibu Sumiati menetapkan hati untuk mengikuti jejaknya.  Dan karena tak pernah terlihat rasa bosan di lidah penikmat kue ini dan pertimbangan kemudahan akses, maka ia memutuskan kota Makassar  sebagai tempat awal kakinya berpijak memulai usaha.  Mengadu nasib, meski harus menjalani resiko jarak, kurang lebih 20 km, yang harus ditempuh dengan naik sepeda motor bersama suaminya dari desa tempat tinggalnya.
Syarifuddin suaminya, selalu mendukung keinginan sang isteri.  Meski lelah masih menggayuti tubuhnya karena setiap pagi harus ke sawah menggarap tanah milik orang, ia selalu siap sedia menemani istri tercinta ke kota Makassar.  Karena tidak memiliki sanak saudara satupun di kota metropolitan ini, maka ia dengan rela membantu sang isteri membawakan perlengkapan jualannya setiap hari.  Ada kotak kaca berukuran 100 x 50 cm tempat kue putu yang telah siap di jual, wadah tempat kue putu yang belum matang, kukusan, kompor, dan cetakan putu. Mengandalkan anaknya yang masih kecil untuk membantu ibunya, tentulah tenaganya belum cukup kuat. 
Ibu Sumiati yang hanya mengenyam pendidikan SMP ini sadar, bahwa penghasilan suaminya sebagai petani penggarap tidaklah cukup untuk membiayai kehidupan mereka. Dengan tiga orang anak yang masih kecil dan duduk di bangku pendidikan sekolah dasar, pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit.  Makanya, menjadi istri dan ibu mandiri, menjadi pilihannya.  Ia berharap, dengan pilihannya tersebut, anak-anaknya kelak bisa menjadi orang-orang yang juga mandiri dan sukses.

Modal Awal Rp 100.000

Untuk memulai usaha, tentu saja dibutuhkan modal. Besar kecilnya tergantung jenis usaha yang hendak dijalani.  Seperti halnya putu cangkiri sebagai usaha rumahan, ibu Sumiati memulainya di tahun 2003 dengan modal Rp 100.000.  Modal tersebut di gunakan untuk membeli alat-alat pendukung seperti kompor, tempat kukusan, pencetak kue putu dan kotak kue sederhana serta sebagian bahan-bahan kue putu.  Syukurnya, bahan-bahan dasar kue ini sangat mudah diperoleh dan termasuk murah di desanya.  Karena untuk kelapa saja, ia bisa membeli dengan harga miring dari tetangga begitu pula dengan tepung beras ketan dan beras biasa.  Hanya gula merah dan gula pasir saja yang tetap dibelinya dengan harga normal di pasar. 
Dalam sekali jual, ibu Sumiati harus menyediakan bahan kue berupa tepung beras ketan sebanyak 3 liter,  dan tepung beras biasa 1 liter (ukurannya 3 : 1), kelapa 4 butir, gula pasir 1 liter, gula merah 1 kg dan pengundang selera berasal dari aroma daun pandan sebanyak 10 lembar.  Dari semua bahan-bahan ini, bisa menghasilkan 200 biji kue putu, berwarna cokelat (bahan dasar di tambah gula merah), dan putih (bahan dasar gula pasir). “Alhamdulillah, sampai hari ini, pelanggan-pelanggan saya belum bosan. Mereka suka dengan putu yang saya buat. Katanya, rasanya khas.  Dan mungkin karena yang berjualan di sepanjang jalan AP. Pettarani ini hanya saya, ya…mereka semuanya membeli di tempat saya”, ceritanya senang.  “Satu orang itu minimal membeli 4 biji (Rp 2000, Rp 500/biji).  Kadang-kadang ada yang langsung membeli 50-100 biji.  Buat oleh-oleh katanya”, tambahnya lagi. 
Dari hasil penjualannya ini, ibu Sumiati bisa membantu suami menghidupi dan memperbaiki ekonomi keluarga.  Di tahun pertama, ia sudah bisa membeli sebuah kotak kaca yang keadaannya lebih baik dari tempat kue putu cangkiri sebelumnya.  “Alhamdulillah, bisami na liat orang kue putuku ka pake kacami.  Tidak seperti dulu kodong (Alhamdulillah, orang-orang sudah bisa melihat kue putu saya sejak memakai kotak kaca ini=red)”, tuturnya khas dengan dialek Makassar. Iya, efek dari tempat kue putu cangkiri yang terbuat dari kaca, lebih memberi kesan bersih pada kue ini.  Dan aroma daun pandan semakin mengundang selera pembeli, meskipun tempat dan alat-alat lainnya yang dipakai masih sangat tradisional.  Kesederhanaan sebuah kue kampung terasa.
Meski tradisional dan hanya menjadi ‘teman’ secangkir teh atau kopi di senja hari, ibu Sumiati tetap optimis menjalankan usaha ini.  “Untuk mencari kue ini, orang-orang harus ke Gowa dulu baru bisa mendapatkannya. Jaraknya yang jauh, bisa saja mereka mengurungkan niat dan tidak jadi membeli.  Saya mencoba memperpendek jarak itu dengan menjualnya di jalan AP. Pettarani, meski sederhana seperti ini. Kemampuan saya hanya sampai begini saja. Belum punya cukup modal.  Mudah-mudahan ada yang mau membantu”, harapnya. 
Anda bisa mencoba kue putu cangkiri ini.  Siapa tahu, memakannya, ditemani secangkir teh atau kopi di sore ataupun di pertengahan malam, bisa melahirkan ide dan inspirasi bagi kesuksesan pekerjaan Anda dan orang lain (maybe).  Siapa tahu?  @n 

2 komentar:

  1. putu cangkiri jadi pemicu ingatan silamku, hari yang belum kenal duka nestapa yang ada hanya canda, tawa, dan petualangan. setiap malam berharap pagi segera datang tuk merangkai hidup penuh pencarian. Sungguh indah masa kanak-kanak di makassar yang masih kumuh. TRIMS PUTU CANGKIRI'NYA.

    BalasHapus
  2. " Putu Cangkiri " kembali terngiang di telingaku , mengusik alam bawah sadarku akan masa penuh ceria. Tak ada duka dan nestapa, penuh tantangan dan empirik yang luarbiasa. Kala itu Makassar masih kumuh dan putu cangkir masih menjadi nyanyian pagi diseluruh pelosok makassar, menjadi lagu penggoda tangis si baco dan bacce kecil. Trims putu cang kiri'nya. (rahim_Mks)

    BalasHapus